Kamis, 23 Oktober 2008

REINTERPRETASI FUNGSI POLITIK MUHAMMADIYAH

Gugun El-Guyanie
Kedaulatan Rakyat,16/11/2007

KETIKA organisasi sosial keagamaan Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 November 1912 oleh KH Ahmad Dahlan, kondisi sosial politik tanah air masih dalam hegemoni kolonialisme Barat yang melakukan intervensi baik dalam ranah politik, ekonomi, agama dan budaya, KH Ahmad Dahlan -- yang bernama kecil Muhammad Darwis, membawa spirit pembaruan setelah kepulangannya dari tanah suci Makkah al Mukarromah, dengan menghimpun para pedagang di Yogyakarta yang harus menghadapi intervensi dan hegemoni politik ekonomi penjajah dan pebisnis Timur Asing. Dalam artian, sang pendiri juga mencanangkan cita-cita politik dan ekonomi untuk menghadapi kolonialis dan imperialis Barat yang begitu represif, selain juga yang paling popular dari pembaruan Muhammadiyah adalah memberangus takhayul, bid'ah dan churafat (TBC) dalam ranah pemurnian akidah. Hingga menjelang usianya yang seabad, Muhammadiyah belum sepenuhnya sadar bahwa peran politik itu ternyata penting, karena secara tersirat telah dilakukan oleh pendirinya.

Tergantung bagaimana tafsir mengenai peran politik dalam konteks keterlibatan memimpin, memanage dan mengurus rakyat yang bermuara pada keadilan ekonomi dan kesederajatan politik. Muhammadiyah tidak bisa serta merta berapologi bahwa prinsip yang dipegang hanya sebatas pemurnian agama yang memberangus TBC. Muhammadiyah harus terlibat dengan memanasnya iklim politik nasional yang semakin chaos.

Peta politik nasional menjelang Pemilu 2009 begitu rumit dan berbelit. Masing-masing ormas keagamaan semacam NU, Muhammadiyah, militer atau sipil, dan juga politik bisnis ikut menyumbat pintu komunikasi yang dialogis. Terpecahnya Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Matahari Bangsa (PMB), walaupun tidak diakui memiliki hubungan struktural, tetapi jelas memiliki nasab secara emosional dan kultural bagi warga Muhammadiyah. Mau tidak mau Muhammadiyah harus memberikan pencerahan dalam ranah politik nasional, tanpa harus terjebak dalam pragmatisme politik praktis. Terminologi politik yang diangkat pun hendaknya bermuara pada tema pencerahan yang diadopsi dari arti kata "tanwir" yang berarti pencerahan atau penyinaran.

Sebagaimana thesisnya Alfian (1989: 5) yang menemukan tiga wajah Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharu Islam di Indonesia, yakni sebagai a religious reformist, agent of social changes dan a political forces. Wajah yang ketiga itulah yang seolah dinafikan oleh publik bahkan oleh warga Muhammadiyah sendiri. Artinya mereka menolak jika Muhammadiyah benar-benar memiliki peran sebagai kekuatan politik (political forces) yang mampu menciptakan perubahan politik dalam skala nasional.

Haedar Nashir dalam "Dinamika Politik Muhammadiyah" (2000: 7), mengajukan terobosan pemikiran yang elegan. Muhammadiyah harus menggali teologi politik -- yaitu mencari norma-norma dasar keagamaan yang menjadi sandaran politik Muhammadiyah, manakala organisasi Islam reformis ini ingin konsisten (istiqomah) mempertahankan diri sebagai gerakan sosial keagamaan dan tidak ingin menjadi partai politik dengan mencari ruang untuk memainkan fungsi politik dalam dinamika kebangsaan.

Kendatipun begitu organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini pun tidak bisa begitu saja membiarkan potensi dan fungsi politiknya terbengkelai. Muhammadiyah tidak perlu khawatir ketika PAN dan pecahannya Partai Matahari Bangsa (PMB) bersaing. Atau para sesepuh Muhammadiyah tidak perlu kebakaran jenggot jika kader-kader muda Muhammadiyah yang berada di kampus tersedot ke partai PKS atau partai lainnya. Justru di sinilah kearifan politik yang tidak menyimpan ambisi mengejar singgasana kekuasaan. Kader-kader muda "matahari bersinar" ini biarlah berkiprah di berbagai partai politik sebagai representasi warga Muhammadiyah.

Dengan ujung tombak politik semacam ini, justru Muhammadiyah tidak akan pernah terancam konflik kepentingan (conflict of interest), atau geger rebutan posisi di partai. Intelektual muda, dokter, akademisi, pengusaha atau profesional muda Muhammadiyah boleh dipinang partai yang sama sekali tidak memiliki kesamaan ideologi dengan Muhammadiyah. Dengan catatan, mereka berpolitik dengan maksud berkhidmah kepada Muhammadiyah dan umat Islam Indonesia.

Sekali lagi harus diingat bahwa KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah bukan untuk sekelompok elite politik, juga bukan untuk orang kaya atau berpendidikan saja. Muara politik Muhammadiyah adalah mengentaskan orang miskin menjadi sejahtera, mencerdaskan anak bangsa dan melayani segala urusan warganya termasuk kesehatan dengan tidak berorientasi pada profit oriented.

Kesimpulan Nakamura, seorang profesor antropologi dari Chiba University yang menjadi tesis dengan judul "The Crescent Arises over the Banyan Tree: A Study the Muhammadiyah Movement in A Central Javanese Town", berdasarkan risetnya di Kotagede Yogyakarta, menggambarkan Muhammadiyah yang multiwajah. Baik itu wajah ideologi, politik, sosial-budaya dan sebagainya. Apakah menjelang usianya satu abad wajahnya masih multi indah? Atau sudah mulai berwajah politis, berwajah kapitalis dan sebagainya. Menjelang seabad Muhammadiyah, semoga Indonesia semakin cerah
----------------

*)Ketua Tanfidziyah Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy'arie, dan Direktur Eksekutif Institute for Social Empowerment Yogyakarta (ISEY)

Read More......

FPI dan Penodaan Citra Agama

Gugun El-Guyanie
Suara Merdeka, 4 Juni 2008

Aksi anarkis Front Pembela Islam (FPI)kembali menyerang Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), pada peringatan Hari Kelahiran Pancasila, Minggu (1/6) di Monas, Jakarta.

Tindakan brutal dengan mengibarkan bendera Islam itu justru melukai sejumlah tokoh Islam yang bergabung dalam AKKBB. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh FPI itu adalah untuk kesekian, setelah berulang kali merusak dan menyerang kelompok yang tidak sependapat dengan mereka. Wajar jika banyak tuntutan dari organisasi kemasyarakatan (ormas) lain yang moderat, menuntut pemerintah untuk membubarkan FPI. Beragama dengan gaya premanis ala FPI sangat menodai Pancasila yang telah disepakati sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa.

Nilai-nilai Pancasila yang secara jelas mendasarkan kepada semua ritme kehidupan berbangsa berdasarkan Ketuhanan telah ternodai. Terlebih agama Islam yang mengajarkan cinta untuk semesta (rahmatan lil ’alamin).

Kelompok-kelompok yang berbaju agama namun berlaku layaknya preman itu sebenarnya telah menentang Tuhan. Mereka sebenarnya tidak menyembah Tuhan, tetapi menyembah kesombongan kelompoknya yang seolah perkasa, paling kuat, dan paling benar. Aksi-aksi yang dilakukannya jelas berlawanan dengan nilai-nilai kemanusiaan, karena melukai dan menghujat kelompok lain dengan biadab.

Tipologi kelompok itu sangat mengancam semangat persatuan nasional. Berpolitik mereka adalah berpolitik gaya Machiavellian yang menghalalkan segala cara, yang bertentangan dengan prinsip kerakyatan yang bijak dan adil. Suara rakyat tidak dianggap sebagai suara kebenaran. Sesungguhnya kelompok mereka sangat merusak nilai keadilan bagi bangsa Indonesia.

Menodai Pancasila
Spirit kelima sila dalam Pancasila, telah dirusak semua. Secara gamblang, mereka sudah berusaha menodai Pancasila dengan tetap bersikukuh bahwa tindakannya adalah berdasarkan kepada legitimasi dari agama.

Pancasila telah menjamin kebebasan setiap kelompok untuk berkeyakinan, termasuk menjamin FPI hidup di bumi Indonesia. Namun dengan prasyarat bahwa semua kelompok harus hidup berdampingan, menjaga keyakinan masing-masing, dan toleran terhadap kebenaran kelompok lain. Artinya, kelompok yang ekstrem dan fanatis buta berarti telah mencederai komitmen untuk hidup bersama dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dengan demikian, harus ada tindakan yang tegas dari negara untuk menindak kelompok-kelompok preman, kendatipun sumpah serapah ingin menegakkan syariat Islam.

Tidak ada syariat Islam di dunia ini yang mengajarkan kekerasan dan menganggap kelompoknya sendiri yang paling benar. Dengan anarkisme dan brutalisme FPI, Tuhan tidak akan ternoda, tapi yang ternoda adalah makhluk Tuhan yang disyariatkan untuk hidup cinta damai di belahan bumi mana pun. Kebesaran Tuhan tidak akan terkurangi karena ulah FPI; kesucian Tuhan tidak akan ternodai; dan kemahakuasaan Tuhan juga tetap utuh. Namun, kehidupan di muka bumi Indonesia harus dijaga dari ancaman-ancaman yang membahayakan keselamatan umat beriman, termasuk aksi teror dari FPI.

Sejarah FPI
Siapa sebenarnya FPI; bagaimana lahirnya; dan apa sebenarnya tujuan mereka di balik gembar-gembor tentang syariat Islam? FPI lahir pada 17 Agustus 1998 dengan ketua umumnya Habib Muhammad Rizieq Syihab, serta berkembang subur pada masa pemerintahan Presiden Habibie. FPI dinilai dekat dengan orang-orang di sekeliling Soeharto.

Di masa Prabowo Subianto aktif di TNI, FPI diduga sebagai salah satu binaan menantu Soeharto itu. Namun, setelah Prabowo jatuh, FPI kemudian cenderung mendekati kelompok Jendral Wiranto yang tengah bermusuhan dengan kelompok Prabowo.

Keberkaitan FPI dengan Wiranto barangkali dapat dideduksi dari aksi ratusan milisi FPI yang selalu berpakaian putih-putih, ketika menyatroni kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), memprotes pemeriksaan Jendral Wiranto dan kawan-kawan oleh KPP HAM.

Milisi FPI yang datang ke kantor Komnas HAM dengan membawa pedang dan golok, bahkan menuntut lembaga hak asasi manusia itu dibubarkan karena dianggap lancang memeriksa para jendral.

Demonstrasi Tandingan
Sementara itu kedekatannya dengan ABRI terlihat dalam aksi demonstrasi tandingan yang dilakukannya melawan aksi mahasiswa yang menentang RUU Keadaan Darurat yang diajukan Mabes TNI kepada DPR pada 24 Oktober 1999. Setelah jatuhnya Wiranto, kelompok itu kehilangan induknya, dan mulai mengalihkan perhatian kepada upaya penegakan syariat Islam di Indonesia. (Syamsul Rizal Panggabean: 2007).

Ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa FPI awalnya memang murni didirikan oleh para ”habib” yang berjuang untuk syariat Islam. Namun pada perjalanannya kelompok itu ditunggangi oleh sejumlah jenderal, yang sekaligus menjadi pembina dan juga sumber dana operasionalnya.

Penyerbuan yang dilakukan di mal, diskotek, bar, dan kafe-kafe, sebenarnya dilakukan oleh laskar FPI yang berbasis preman Betawi. Laskar FPI yang diduga adalah preman-preman itu kemudian dikomando untuk menyerbu tempat-tempat hiburan pada bulan Ramadan dengan dalih penegakan syariat. Namun yang terjadi hanya tempat-tempat hiburan tertentu yang tidak memberikan uang keamanan yang diserbu.

Dalam merespons kejadian tersebut, polisi terlihat hanya datang menyaksikan aksi-aksi perusakan. Sekalipun polisi kemudian mengkritik aksi-aksi itu, tetapi tak satu pun anggota FPI yang ditangkap. Sejumlah pengamat mengungkapkan óyang juga diyakini kebenarannya oleh sebagian masyarakató bahwa polisi telah memanfaatkan FPI dan milisinya, Laskar Pembela Syariat Islam (LPSI) untuk memaksakan protection rackets-nya. Sebagai akibatnya, polisi memaafkan aksi tersebut atau bahkan mengarahkan serangan itu ke sasarannya.

Jika fakta-fakta tersebut benar-benar terjadi, maka masyarakat dan negara harus waspada. Kalau ada konspirasi antara preman dan aparat negara, berarti negara sudah kehilangan kontrol terhadap kehidupan warganya.

Rakyat kecil yang sudah hidup miskin, terusik ketenteramannya dan selalu diributi oleh teror-teror kekerasan, harus diutamakan. Warga negara membutuhkan jaminan ekonomi, jaminan lapangan kerja, jaminan kebebasan beragama dan kebebasan berpolitik.

Jika negara telah gagal menjamin hak-hak tersebut, wajar apabila kewajiban sebagai warga negara dan sebagai manusia terabaikan. Bahkan menurut John Rawl berbalik menjadi ketidakpatuhan kepada negara (civil disobedience).

Saatnya negara bertindak tegas terhadap para perusuh, baik itu preman maupun orang-orang dalam sendiri yang tidak puas dengan pembagian ”kue kekuasaan”. Negara ini bukan milik orang dan kelompok tertentu, tetapi milik rakyat. Siapa pun yang terlibat dalam kekacauan terhadap negara, baik yang berjubah agama maupun yang berbaju apa pun, harus diadili. Siapkah pemerintah menegakkan keadilan dan membubarkan FPI?(68)
----------------------------

*) Sekjen Lembaga Kajian Keagamaan dan Kebangsaan (LK3 ) PW GP Ansor DIY.

Read More......

LUDRUK; KESENIAN DAN PERLAWANAN KAUM MARGINAL

Gugun El-Guyanie
Jurnal The Sandour, Edisi 2008

Kemarin rakyat digemparkan dengan isu “reog Ponorogo” yang diklaim oleh Malasyia. Sekarang kita munculkan wacana seni ludruk yang sama-sama dari Jawa Timur sebagaimana Reog dilahirkan. Ini kita maknai sebagai suatu sikap kultural-apresiatif terhadap kekayaan warisan seni lokal di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sekali lagi marilah mengangkat dengan hormat produk seni nenek moyang yang diinjak-injak anak cucunya sendiri. Juga mencintai dan merasa memiliki (sense of belonging) karya-karya tradisional yang dianggap kampungan (subaltern).

Masih adakah generasi sekarang ini yang mengenal kesenian khas Jawa Timur yang bernama Ludruk? Sungguh nasionalisme generasi muda abad 21, diuji bukan karena tidak mengenal bahasa persatuan, tidak hormat pada merah putih atau tentang pancasila. Tetapi karena mereka sudah kehilangan kesadaran historis untuk sekedar ingat pada karya-karya tradisional khas daerah masing-masing. Kaum muda Indonesia saat ini sudah tercerabut dari akar-akar kearifan budaya lokal yang menyimpan khazanah eksotisme dan heroisme kaum tradisionalis marginal. Salah satu khazanah penting yang sedang meredup dan dilupakan oleh para pewarisnya adalah ludruk. Ludruk bagi penulis semenjak berkenalan dengannya bukan saja memiliki nilai kesenian khas rakyat, namun juga menanamkan spirit perlawanan dan kritik sosial khas orang pinggiran yang tertindas dan terhisap.

Untuk melacak akar historis seni ludruk sebenarnya tidak sulit. Walaupun banyak terjadi perbedaan tentang asal muasalnya, pada prinsipnya memiliki substansi yang sama. Salah satunya adalah hasil penelitian Suripan Sadi Hutomo, menurut kamus “Javanansch Nederduitssch Woordenboek” karya Gencke dan T Roorda (1847), Ludruk artinya Grappermaker (badutan). Sumber lain menyatakan ludruk artinya penari wanita dan badhut artinya pelawak di dalam karya WJS Poerwadarminta, BPE Sastra (1930). Sedangkan menurut S.Wojowasito (1984) bahwa kata badhut sudah dikenal oleh masyarakat Jawa Timur sejak tahun 760 M di masa kerajaan Kanyuruhan Malang dengan rajanya Gajayana, seorang seniman tari yang meninggalkan kenangan berupa candi Badhut.

Ada yang menyatakan bahwa embrio kesenian ludruk menurut penuturan beberapa narasumber dan kalangan seniman ludruk, pertama kali muncul sekitar tahun 1890. Pemulanya adalah Gangsar, seorang tokoh yang berasal dari desa Pandan, Jombang. Gangsar pertama kali mencetuskan kesenian ini dalam bentuk ngamen dan jogetan. Ia mengembara dari rumah ke rumah. Dalam pengembaraannya ini Gangsar kemudian melihat seorang lelaki sedang menggendong anaknya yang sedang menangis. Lelaki itu berpakaian perempuan, dan ini dianggap Gangsar sebagai fenomena lucu dan menarik, sehingga dia bertanya mengapa laki-laki kok mengenakan busana perempuan. Menurut si lelaki, ia memakai baju perempuan tersebut untuk mengelabui anaknya, untuk membuat anaknya merasa bahwa dia digendong oleh ibunya. Menurut nara sumber ini, peristiwa itulah yang menjadi asal munculnya laki-laki yang berperan sebagai wanita dalam kesenian ludruk. Narasumber lain menyatakan bahwa ludruk sebagai teater rakyat dimulai tahun 1907, oleh pak Santik dari desa Ceweng, Kecamatan Goda kabupaten Jombang.

Dari berbagai narasumber, pada kesimpulannya bahwa Jombang sebagai tanah air yang melahirkan kesenian ludruk yang benih-benihnya sudah tertanam di akhir abad 19. Hingga tumbuh berkembang dengan subur dari periode pemerintahan ke periode pemerintahan selanjutnya. Dari zaman kolonialisme Belanda sampai zaman Jepang, dan berlanjut hingga zaman pembangunanisme Orde Baru. Secara kultural geografis, ludruk melakukan ekspansi dari Jombang ke daerah lain di wilayah Jawa Timur, seperti Surabaya, Malang, Madiun, Madura dsb. Dengan tetap lahir dari rahim kesenian masyarakat kelas marginal yang kurang terpelajar, kelompok ekonomi miskin dan kelas sosial terpinggirkan.

Cak Durasim dan Ludruk
Menyebut-nyebut ludruk tanpa nama Cak Durasim ibarat berbicara Proklamasi tanpa menyebut nama Soekarno, atau sama halnya berbicara Reog dengan meninggalkan nama kota Ponorogo. Cak Durasim hidup sezaman dengan dr. Sutomo, tokoh politik pada zaman itu yang populer dengan peristiwa 10 November Surabaya atau kemudian dikenal dengan Hari Pahlawan. Pada tahun 1933, Cak Durasim mendirikan Ludruk Organizatie (LO), merintis pementasan ludruk berlakon, yang kemudian amat terkenal keberaniannya dalam mengkritik pemerintahan kolonial Belanda maupun Jepang.

Ludruk pada masa itu memiliki multifungsi. Pertama, berfungsi sebagai hiburan dan kesenian rakyat. Kedua, sebagai alat penerangan atau pencerahan rakyat pinggiran yang jauh dari informasi. Ketiga, fungsi politis yaitu sebagai media menumbuhkan nasionalisme daan provokasi perlawanan terhadap penjajah. Peristiwa puncaknya akibat kidungan “Jula Juli” yang menjadi legenda di seluruh grup Ludruk di Indonesia yaitu : “Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro. Tuku klepon ndhu stasiun, Melok Nippon gak oleh pensiun”. Akibatnya cak Durasim dan kawan kawan ditangkap dan dipenjara oleh Jepang hingga wafat setelah sekian lama keluar dari penjara.

Kemudian menginjak masa Kemerdekaan (1945-1965), ludruk berperan informatif untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan dalam mengisi kemerdekaan. Ludruk yang terkenal pada zaman tersebut adalah ludruk Marhaen milik Partai Komunis Indonesia yang juga sekaligus digunakan sebagai corong PKI untuk melakukan penggalangan masa untuk tujuan pemberontakan. Terbukti ludruk benar-benar dekat di hati rakyat atau wong cilik di wilayah Jawa Timur. Ada dua grup ludruk yang sangat terkenal yaitu : Ludruk Marhaen dan Ludruk Tresna Enggal.

Ludruk Marhaen pernah main di Istana Negara sampai 16 kali. Hal ini menunjukkan betapa dekatnya para seniman ludruk dengan para pengambil keputusan di negeri ini. Ludruk ini juga berkesempatan menghibur para pejuang untuk merebut kembali Irian Jaya, TRIKORA II B yang memperoleh penghargaan dari panglima Mandala (Soeharto). Ludruk Marhein lebih condong ke kiri sehingga ketika terjadi peristiwa G30S/PKI Ludruk ini bubar. Peristiwa G30S/PKI benar-benar memporak porandakan grup-grup Ludruk terutama yang berafiliasi kepada Lembaga Kebudayaan Rakyat milik PKI. Hingga terjadi kevakuman antara 1965-1968, dan sesudah itu muncullah kebijakan baru menyangkut grup-grup ludruk di Jawa Timur. Kemudian pada tahun 1968-1970 terjadi peleburan ludruk yang dikoordinir oleh Angkatan Bersenjata dalam hal ini DAM VIII Brawijaya. Dan setelah tahun 1975, ludruk kembali menjadi milik rakyat yang independen.

Ternyata Indonesia mengenal Jombang bukan hanya karena menjadi ibu kota pesantren yang memiliki ratusan ribu santri yang mendalami ilmu agama. Atau juga bukan hanya ada intelektual Islam Nurcholis Madjid, tokoh sekaliber Gusdur sampai ke bapaknya (A Wahid Hasyim), bahkan ke kakeknya sang pendiri Nahdlatul Ulama (KH Hasyim Asy¢arie). Dan juga bukan hanya ketenaran budayawan kondang Emha Ainun Nadjib sampai spirit jihadnya Abu Bakar Ba¢asyir, yang semua tokoh tadi dilahirkan dari Jombang. Indonesia dan kita semua harus melihat Jombang dari satu pintu lagi, yaitu pintu seni kerakyatan yang bernama ludruk. Karena di dalamnya kita temukan local wisdom, nasionalisme, heroisme, eksotisme estetis dan nilai-nilai kerakyatan yang dalam.

Kita menghidupkan kesenian rakyat daerah bukan untuk tujuan primordialisme-etnosentrisme yang sempit. Tetapi memasuki samudera NKRI melalui pintu-pintu kerakyatan yang termarginalkan, mencintai tanah air dengan menengok kampung halaman tempat kita dilahirkan. Karena seni yang diciptakan nenek moyang kita, memiliki nilai sakral untuk menuju Tuhan dan menyelamatkan bangsa yang sedang tenggelam dalam kemurkaan-Nya.

Read More......

GAM, Pilkada, dan Perdamaian

Gugun El-Guyanie,
Suara Merdeka, 11 Des 2006

Munculnya asumsi dan ketakutan yang tak terlalu berpijak pada realitas sepenuhnya, justru bisa memicu ketegangan antarpendukung, bahkan menghidupkan kembali kubu GAM dan non-GAM, mengingat corak masyarakat kita suka bergejolak.

GERAKAN Aceh Merdeka (GAM) tetap merayakan hari ulang tahunnya yang ke-29, pada 4 Desember 2006. Tentu saja tanpa disertai dengan atribut, simbol dan unjuk senjata sebagaimana sebelum mereka terikat perjanjian damai dengan RI. Namun peringatannya lebih sekadar pada ungkapan rasa syukur bahwa kehidupan damai di Aceh telah terwujud setelah beberapa dasawarsa rakyat Aceh hidup dalam bayang-bayang kekerasan perang saudara.

Hal ini paling tidak menunjukkan bahwa orang-orang GAM sudah memiliki kesadaran untuk membangun lembaran hidup baru tanpa tekanan konflik. Dalam peringatan milad GAM inilah dijadikan sebagai momentum untuk menjaga stabilitas keamanan demi perdamaian yang abadi.

Bersamaan itu pula, pilkada Aceh yang dijadwalkan hari ini (11 Desember) semakin mendekat. Prediksi akan munculnya konflik di tanah rencong pun membumbui pesta demokrasi daerah, kendatipun kehidupan damai RI-GAM telah terwujud.

Secara kasat mata, antara milad GAM dan pilkada mungkin tak memiliki hubungan yang signifikan. Namun karena Pilkada langsung adalah kali pertama di "Serambi Makkah", maka dua halitu menjadi sangat berarti. Sejak lama masyarakat NAD merindukan pemerintahan demokratis yang jauh dari anarkisme dan separatisme.

Sebagai hasil kesepakatan dari berbagai pertemuan Kelompok Kerja (Pokja) Pilkada dalam rangka mendukung Pilkada yang aman dan tertib, acara penandatanganan Ikrar Kesepakatan Pilkada Damai dari delapan calon Gubernur/Wakil Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilaksanakan pada 11 November 2006 di Swiss Belhotel Banda Aceh.

Pokja Pilkada Damai NAD dibentuk 16 Oktober 2006 atas inisiatif Polri Polda NAD dengan dukungan Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia, International Organization for Migration (IOM) , Kedutaan Besar Kerajaan Belanda dan Uni Eropa.

Pokja yang terdiri dari berbagai unsur masyarakat NAD seperti Polda, Pemerintah Provinsi, Kodam Iskandar Muda, Kejati, DPRD, Pengadilan Tinggi, MPU, MAA, BRR, Unsyiah, IAIN, BRA, PWI, AJI, KIP, Panwaslih, dan Forum LSM ini merupakan tim teknis guna memberi masukan pada Kapolda NAD dan berbagai elemen terkait dengan Pilkada Aceh.

Tim Pokja diharapkan dapat mencermati kondisi Aceh sehingga mampu mengantisipasi dan mencegah terjadinya konflik. Selain itu tim Pokja Pilkada juga melibatkan unsur TNI untuk membantu jalannya pengawasan pelaksanaan Pilkada Aceh yang aman dan tertib.

Potensi munculnya konflik tentu disebabkan karena adanya salah satu calon dari GAM yang juga ikut bertarung dalam perebutan suara. Di salah satu koran nasional edisi 29 September 2006, kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar, menyatakan, potensi terjadinya konflik dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) di Aceh, sangat besar. Pernyataan ini pada satu sisi bisa berupa sikap waspada dalam menghadapi kondisi yang labil. Namun pada sisi lain, hanya berupa bayang-bayang ketakutan yang berlebih-lebihan. Gejala semacam ini dalam istilah psikologi disebut sebagai pharanoia within reason.

Hal ini seperti dikatakan Sigmund Freud, seorang pencetus psikoanalis, sebagai penyebab dari mimpi yakni, ketakutan atau keinginan berlebihan yang selalu menekan alam bawah sadar manusia.

Kecurigaan yang berlebihan terhadap GAM berarti menunjukkan masih adanya dikotomiantara GAM dan non-GAM yang sebenarnya sudah dihilangkan semenjak MoU Helsinki.

Padahal hingga detik ini kondisi menjelang pilkada masih menunjukkan suasana yang kondusif. Dengan munculnya asumsi dan ketakutan yang tak terlalu berpijak pada realitas sepenuhnya, justru bisa memicu ketegangan antarpendukung, bahkan menghidupkan kembali kubu GAM dan non-GAM, mengingat corak masyarakat kita adalah masyarakat yang suka bergejolak.

Mencedarai Asas Damai
Menaruh kecurigaan pada kekuatan GAM sebenarnya secara moral juga telah mencederai asas-asas perdamaian. Kehadiran calon gubernur dari GAM hendaknya tidak disambut dengan sinisme dan kecurigaan yang berlebihan. Namun sebaliknya, bahwa GAM juga berkomitmen terhadap pembangunan pemerinthan Aceh yang demokratis tanpa adanya segregasi social antara bekas anggota GAM atau non-GAM. Luka sejarah yang memisahkan persaudaraan satu nasib dan satu teritori harus dikubur dalam-dalam agar tidak memunculkan letupan-letupan dendam.

Berpijak dari pengalaman konflik pilkada di daerah lain, sesungguhnya minim sekali konflik dipicu oleh akar cultural grass root. Pemicunya justru kecurangan sistem pilkada sendiri yang banyak bermuatan kepentingan politis para pejabat dan kaum pemodal menengah ke atas. Jadwal kampanye yang tidak efektif, pemungutan suara yang tidak fair, bahkan campur tangan pihak LSM atau TNI/Polri yang mencoba mempengaruhi hasil pilkada.

Teorinya John Rawls A Theory of Justice (2006) mengatakan, fenomena semacam itu disebut sebagai pembangkangan sipil . Namun sebenarnya fenomena pembangkangan bukanlah fenomena yang berupa kekerasan secara fisik. Sebagaimana kasus kekerasan pasca pilkada Tuban, bukanlah kasus pembangkangan sipil, melainkan sudah mengarah pada rebellious societyógejolak masyarakat yang anarkis. Karena menurut John Rawls, pembangkangan publik merupakan aksi publik, non-kekerasan, bersifat hati nurani namun politis yang bertolak belakang dengan hukum, yang biasanya dilakukan dengan tujuan mewujudkan sebuah perubahan dalam undang-undang atau kebijakan pemerintah. Kasus ini sering terjadi pada suatu keadaan yang nyaris adil, masyarakatnya yang sebagian besar tertata baik tetapi di sana beberapa pelanggaran hukum serius tetap terjadi.

Dengan menyadari beberapa kelemahan sistem pilkada yang berpotensi melahirkan konflik, maka tidak ada alasan untuk mengkambinghitamkan GAM ketika meletus konflik. Antisipasi untuk menghadang konflik seharusnya muncul dari perangkat peraturan pilkada, agar benar-benar demokratis, jujur, adil dan tidak memihak. Siapa pun yang memenangkan pilkada di NAD adalah juga warga NKRI yang memiliki rasa nasionalisme dan loyalitas kedaerahan. GAM dan non-GAM adalah masa lalu, sehingga tidak ada penghambat untuk membangun masa depan tanah rencong secara adil, sejahtera, damai dan demokratis. Kesadaran masa lampau yang pahit itulah yang akan menumbuhkan cinta damai di Aceh.

Perdamaian bukan hanya berhentinya konflik atau kekerasan antara beberapa kelompok yang bertikai. Namun menjaga perdamaian adalah juga memberikan hak-hak ekonomi dan politik secara adil. Buat apa perdamaian kalau masih ada kemiskinan, pengangguran dan kelaparan.

Peraih Nobel Perdamaian 2006 Mohammad Yunus bukanlah tokoh yang berperan meredam pertikaian. Namun dengan menjalankan bank perkreditannya yang berpihak pada kaum miskin, dengan misi pengentasan kemiskinan, perdamaian dengan sendirinya akan dipetik.
-----------------

*)Pengamat sosial politik, direktur eksekutif Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY).

Read More......

Rabu, 13 Agustus 2008

PANGGUNG POLITIK KAUM MUDA

Gugun El-Guyanie

Muda atau tua bukan sekedar siklus biologis, namun memiliki makna politis yang strategis. Kaum muda dan kaum tua sama-sama memiliki kepentingan untuk tampil di medan politik untuk berkuasa dan memimpin. Kaum tua lebih matang, namun penuh pertimbangan yang membutuhkan waktu panjang untuk berdialektika. Kaum muda lebih progresif, namun memilih jalan pintas yang serba instant. Panggung politik Indonesia saat ini harus memberikan skala dan target yang jelas. Berapa persen kebijakan-kebijakan harus diambil cepat dan progresif, dengan karakter pemimpin muda. Berapa persen pula kebijakan butuh pertimbangan, jangka panjang, khas karakter orang tua.

Nurcholis Madjid secara definitive menggambarkan bahwa usia 30 tahun membuat orang sudah berpikir mapan, tidak progressif, dan cenderung mempertahankan status quo. Orang muda yang anti status quo dibutuhkan untuk memimpin bangsa yang sedang dalam kondisi emergence baik secara politik keamanan atau social-ekonomi. Orang-orang tua dibutuhkan sebagai pemimpin yang bisa men-stabilkan pergolakan-pergolakan, di tengah masyarakat yang memiliki kecenderungan rebellius society. Menurut Taufik Abdullah, sejarah tidak akan menenggelamkan kaum muda yang kehadirannya bukan semata-mata gejala demografis, tapi juga fakta sosiologis dan historis. Ia memandang kelahiran kaum muda tidak hanya mengisi sebuah episode generasi baru, mengganti generasi tua, tapi lebih dari itu kaum muda merupakan subyek potensial yang menjanjikan. Kaum muda adalah lokomotif perubahan (agent of change) yang menyimpan energi untuk menjebol tembok-tembok feodalisme, kolonialisme dan imper ialisme.

Kaum muda dalam konteks ini adalah sekelompok orang berusia muda, yang terdidik, dan memiliki kesadaran kebangsaan. Memiliki visi panjang, bercita-cita mengusung perubahan, dan menaruh sense of belonging terhadap nasib bangsanya. Mereka adalah kelas menengah (middle class), bukan sekedar menengah dalam kategori social-ekonomi semata. Mereka bukanlah kelompok kelas bawah (lower class) yang sedikit memiliki visi dan sensibilitas social yang luas, karena sudah disibukkan untuk memikirkan kebutuhan hidup mereka sendiri yang tidak terjamin oleh siapa-siapa. Kelas bawah ini energinya habis untuk berjuang melawan ketidakadilan social ekonomi. Mereka ini adalah pengangguran, buruh, petani pedesaan dan kaum pinggiran lain. Kelas menengah juga berbeda dengan kelas atas (upper class) yang status quo, yang terlanjur mencintai kekuasaan, duduk di singgasana kemewahan hidup dan penuh selebrasi popularitas. Kelas atas yang anti perubahan, menolak sunnatullah yang meniscayakan roda perubahan. Mereka takut dengan falsafah Jawa yang mengajarkan “cakra manggilingan”—kehidupan berputar seperti roda pedati, kadang diatas kadang dibawah.

Pertarungan kelas dan sejarah manusia dalam pandangan Karl Marx dibentuk oleh motif ekonomi semata. Sementara bagi sosiolog Jerman, Max Weber, membuktikan bahwa sebab-akibat dalam sejarah tak selamanya didasarkan atas motif-motif ekonomi belaka. Weber berhasil menunjukkan bahwa ide-ide religius dan etis justru memiliki pengaruh yang sangat besar. Dengan demikian kelas menengah dalam konteks kaum muda adalah mereka yang memiliki modal intelektual (intellectual capital),modal kultural (cultural capital) dan symbolic capital. Menurut Pierre Bordieau (Homo Academicus: 1988), kaum muda sebagai kelas menengah ini memiliki habitus tersendiri yang berbeda dengan dunia politik yang kotor atau jagad ekonomi yang rakus.

Bagi Yuddy Chrisnandi (2007), ada hal fundamental yang membedakan kaum muda dari kaum tua. Kaum muda selalu melawan, sementara kaum tua senantiasa berkompromi. Peristiwa Rengasdengklok saat Soekarno-Hatta diculik kaum muda dan mendesakkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah satu bukti sejarah yang sulit dibantah betapa kaum muda tidak tunduk pada "kompromi". Kaum muda memaksa Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan atas nama bangsa Indonesia. Jepang, yang sudah dilumpuhkan oleh tentara Sekutu dalam Perang Dunia II setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom atom pada 6 dan 9 Agustus 1945, membuat pemuda tidak percaya pada janji kemerdekaan pemerintah kolonial Jepang.

Belajar dari Peristiwa Rengasdengklok, kaum muda sangat dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang cepat dan tepat. Tanpa desakan kaum muda, bisa jadi kemerdekaan Indonesia tidak diproklamasikan 17 Agustus 1945, karena kaum tua butuh pertimbangan panjang. Kemerdekaan adalah proses revolutif yang membutuhkan waktu cepat dalam multiskala yang luas dan menyeluruh. Dengan kemerdekaan semua kehidupan bangsa berubah total dari jeratan kolonialisme menjadi bebas dan berdaulat menentukan nasibnya sendiri. Revolusi yang berjalan cepat selalu membutuhkan pengorbanan. Dalam bahasanya Khalifah Ali bin Abi Thalib, revolusi akan terus bergulir sampai mereka yang berada dalam status paling rendah diantara kamu menjadi paling tinggi dan sebaliknya. Inilah karakter orang muda yang rela berkorban demi perubahan yang total, bukan setengah-setengah.

Kaum muda calon pemimpin masa depan harus terorganisir gagasan dan gerakannya. Partai politik sebagai salah satu institusi yang memiliki otoritas melakukan kaderisasi politik jangan hanya menjadikan kader muda sebagai komoditas politik. Selama ini partai politik justru melakukan “banalisme kaum muda”, mencetak kaum muda sebagai kader politik yang mengusung ideology pragmatisme dan oportunisme. Wajar kalau banyak kaum muda potensial ketika masuk partai politik tiba-tiba kehilangan idealisme dan orientasi kebangsaan (nationalisme oriented). Mesin politik untuk mengkader generasi muda harus benar-benar bersih. Partai politiklah yang punya peran untuk membangun karakter kebangsaan anak muda (nation character building). Jika mesin politik partai sudah bergulir dengan lancar dan bersih, maka tidak boleh ada sikap skeptis dan apriori anak-anak muda terhadap partai politik. Kaum muda, yang tidak memilih politik sebagai kehidupannya adalah kaum muda yang individualis. Mementingkan kepentinganya sendiri, tanpa menyadari bahwa kehidupannya ditentukan oleh keputusan-keputusan politik. William Gilbert (1836-1911), menyatakan “saya selalu memilih berdasarkan partai, dan tidak pernah berpikir tentang kepentingan pribadi saya sendiri.”

“Saatnya kaum muda memimpin” bukan sekedar sloganistik. Namun membutuhkan proses kaderisasi yang panjang. Kaum muda sebagaimana kaum tua adalah bagian dari rakyat. Jika suatu saat mereka memimpin, yang utama diingat adalah nasib rakyat. Sebagaimana adagium Romawi; “princepes et senatores discite exemplum populorum. Et agite pro republica popularum.” Para pemimpin dan wakil rakyat belajarlah dari teladan rakyat, dan bekerjalah demi kepentingan rakyat. Kendati demikian, kaum muda yang sedang dipuja-puja dan ditunggu-tunggu kedatangannya bak imam mahdi, ratu adil atau sang mesias, jangan lupa diri bahkan ambisius untuk merebut tahta. Mungkinkah kaum muda sanggup menjadi sang mesias bagi tanah airnya? Jangan lupa karakter bangsa kita yang “melodramatic”, dalam bahasanya Sukardi Rinakit. Bangsa yang “melodramatic”, mudah bosan, mudah lupa, mudah cinta juga mudah benci.

Penulis adalah Sekjen Lembaga Kajian Keagamaan dan Kebangsaan (LK3) PW GP Ansor Yogyakarta.

Read More......

FENOMENA SELEBRITISME POLITIK

Gugun El-Guyanie
Koran Kontan, 9 Agustus 2008

Saatnya kita buktikan fenomena "zaman edan" yang dialami bangsa Indonesia. Banyak selebritis yang gila kekuasaan, sebaliknya banyak politisi yang ingin jadi selebritis. Kursi bupati-wakil bupati, gubernur-wakil gubernur, atau kursi legislatif dan calon legislatif 2009. Bahkan banyak partai politik; partai islam, partai nasionalis, partai kecil, partai besar menempatkan nama-nama artis sebagai pengurus partainya. Sungguh bangsa kita telah hidup tanpa parameter dan skala yang jelas. Pandangan bangsa kita sudah kabur untuk membedakan mana politik mana industri, mana Tuhan mana berhala, mana pemimpin mana maling, atau juga membedakan mana anjing mana kambing.

Perjalanan kepemimpinan nasional telah mengarungi beberapa fase yang unik dan dinamis. Memasuki abad industri yang bersamaan dengan terbukanya pintu reformasi, era kepemimpinan nasional mengalami distorsi yang melesat jauh dari periode sebelumnya. Fenomena selebritisme yang merasuki hampir seluruh "ruh" kehidupan global juga merangsek ke domain politik yang sebelumnya tak pernah dibayangkan.

Gejala ini ditandai dengan banyaknya artis yang tergoda untuk masuk di singgasana kekuasaan. Marissa Haque yang pernah mencalonkan diri sebagai wakil gubernur Banten, Rano Karno sebagai wakil bupati Tangerang, Dede Yusuf sebagai wakil gubernur Jawa Barat, Angelina Sondakh, Ajie Massaid yang menjadi pengurus parpol dan DPR, serta masih banyak pekerja entertainment yang syahwat politiknya mulai bangkit. Dengan modal popularitas (popularity capital) dan pencitraan yang dibangun media, para artis memiliki peluang yang besar untuk dipilih oleh rakyat.

Pada kutub lain, banyak politisi yang sedang konsentrasi habis-habisan mencari popularitas demi kekuasaan juga melalui akting menjadi artis. Manakah yang nomor satu dalam kehidupan politik mereka, apakah korban Lappindo, banjir dan kemiskinan. Ataukah popularitas jadi bintang film, yang dilihat banyak orang biar terkenal. Terlebih ketika masyarakat kita sedang dalam kegilaan selebritis. Dalam artian menjadikan artis yang dibesarkan industri media sebagai panutan gaya hidup (life style) baik dalam bidang agama, budaya dan politik.

Dalam konteks negara kita yang menganut sistem demokrasi, fenomena tersebut tentu sah-sah saja dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Berdasar atas asas demokrasi seperti asas kebebasan dan persamaan hak atas politik, yakni hak untuk memilih dan untuk dipilih. Sehingga tidak ada norma hukum yang dapat menggugat para artis tersebut untuk menjadi pemimpin. Namun yang harus dipahami dalam prinsip politik adalah sejauh mana orientasi kekuasaan tersebut terdistribusikan untuk kesejahteraan rakyat. Dan sebaliknya, tujuan kekuasaan pun tidak boleh bertentangan dengan mekanisme atau tata cara menuju kekuasaan.

Sebagaimana yang menjadi teori Machiavelli yang diulang dalam The Princes, dimana ia secara tegas menyatakan bahwa dalam tindakan manusia "tujuan menghalalkan cara" (the end justifies the means). Yang terjadi dalam dunia entertainment adalah keberpura-puraan (sofisticated) dan berlebih-lebihan sehingga tidak menemukan tujuan yang hakiki. Para artis juga tidak memiliki kualifikasi tertentu seperti keahlian leadership, pengalaman politik dan kapasitas moral-intelekual, yang menjadi prasyarat atau cara menuju kekuasaan. Akibatnya kekuasaan dalam genggaman para selebritis tidak lebih sekedar dunia hiburan, sebagaimana mereka berada dalam iklim industri entertainment.

Untuk melakukan penilaian yang obyektif, kita perlu menengok dari perspektif historis bagaimana sejarah kekuasaan di bumi pertiwi ini dikendalikan dan siapa yang mengendalikan. Fase pertama, kurun waktu yang paling menyedot energi besar dan belum pernah terjadi kembali hingga sekarang. Perjuangan membebaskan rakyat dari cengkeraman kolonialisme dan imperalisme Barat yang dirintis para founding fathers seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, M Natsir dkk adalah fase puncak yang paling fenomenal setelah berabad-abad dipenjara keterbelakangan dan kesengsaraan. Kelompok ini disebut sebagai intelektual-aktivis.

Definisi intelektual menurut Oxford Advanced Learners Dictionary adalah; orang-orang yang mempunyai atau menunjukkan kemampuan nalar (reasoning power) yang baik, yang tertarik pada hal-hal rohani (things of mind) seperti kesenian atau ide-ide demi seni atau ide itu sendiri. Yang membedakan seorang intelektual dalam artian tersebut dari seorang intelektual, bukanlah kemampuannya untuk memakai kesanggupan nalarnya, karena tiap orang normal diwarisi dengan kemampuan itu. Yang membuat seorang intelektual menonjol di tengah yang non-intelektual adalah kemampuan berpikir bebas sebagai lawan dari kecenderungan mengikuti saja pikiran orang lain (Selo Soemardjan: 1984).

Aktivis yang dimaksudkan adalah aktif menggerakkan ide-ide ke dalam ranah praksis sosial-kemasyarakatan. Soekarno dan kawan-kawan seangkatannya adalah intelektual sekaligus aktivis. Beliau-beliau adalah orang yang memiliki latar belakang akademis-intelektual, kemampuan nalar dalam menangkap pesan zaman sekaligus menerjemahkan gagasan tersebut secara empiris sehingga dipahami oleh rakyat. Gagasan tentang negara yang berdaulat bebas dari kolonoalisme dan imperialisme asing, demokrasi dan ekonomi kerakyatan dan keadilan sosial tidak hanya berhenti di singgasana langit. Tetapi mereka sekaligus bekerja konkrit demi memikul amanat penderitaan rakyat. Gerakan sosial semacam inilah yang menjadikan para tokoh tersebut terpaksa harus dibuang dan diasingkan dari komunitasnya. Ciri khas aktivis adalah menjalankan gerakan revolusioner-radikal kendatipun nyawa harus melayang.

Fase kedua, tampilnya rezim militer Orde Baru yang dinahkodai Soeharto. Model kepemimpinan model ini bukan hanya oknum-oknumnya yang lahir dari rahim militer, namun juga menjadikan militerisme, despotisme dan otoritarianisme memandu panggung politik nasional. Cita-cita demokrasi yang didalamnya menjunjung tinggi asas kebebasan, persamaan, pengakuan HAM dsb menjadi terpasung. Dilihat dari sisi luar, stabilitas politik dan keamanan terkendali. Rakyat juga tampak hidup dalam ketenteraman, kesejahteraan dan keadilan. Dengan jargon pembangunanisme, Soeharto menjadi orang nomor satu yang dipuja dan disembah rakyat seluruh Nusantara. Namun itu semua hanyalah kepalsuan semata, yang dalamnya menyimpan penindasan dan penginjakn harkat dan martabat rakyat sebagai warga negara. Jaringan bisnis keluarga Cendana, praktik KKN, dan rusaknya kekayaan alam menyebabkan akumulasi krisis ekonomi dan juga krisis multidimensional.

Fase ketiga, tumbangnya rezim Soeharto dengan lahirnya babak reformasi. Model kepemimpinan politik periode ini banyak memunculkan figur intelektual, ulama, akademisi dan aktivis sosial. Energi yang terkungkung selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, terlampiaskan dengan berbagai ekspresi kebebasan. Reformasi yang dimaknai dengan lahirnya kembali demokrasi disalahpahami menjadi demokrasi overdosis. Reformasi yang dicita-citakan melahirkan perubahan politik dan ekonomi pada sisi lain juga memunculkan anarkhisme, bibit separatisme dan fundamentalisme beragama. Nama-nama intelektual seperti Gusdur, Amien Rais, Habibie, Akbar Tandjung, Nurcholis Madjid dan Emha Ainun Nadjib menjadi lokomotif utama yang mengawal reformasi. Namun tetap saja kondisi rebellious society—gejolak masyarakat tak bisa dibendung.

Fase keempat, yang masih berjalan hingga kini dikomandoi oleh SBY-JK yang mendapat legitimasi kuat dari rakyat. Namun pada perjalanan kekuasaannya, lebih banyak dipandu oleh kepentingan bisnis profit oriented. Yang hanya dinikmati sekelompok elit dan golongan yang mengabaikan kesejahteraan rakyat. Hampir semua kebijakan pemerintah menggunakan logika bisnis yang mempertimbangkan untung-rugi. Pendidikan, kesehatan, politik semuanya tidak bisa diakses secara adil oleh elemen bangsa. Drama ini belum selesai, kini kita disusul dengan fenomena selebritisme politik yang didesain oleh oleh industri media. Masyarakat dibuat histeris ketika bertemu atau mendengar artis idolanya. Artis kini menjadi pemimpin politik sekaligus pemimpin agama yang fatwanya layak dipatuhi.

Yang jelas, para selebritis tidak memiliki modal moralitas, modal kultural dan modal intelektual. Sehingga kita patut bertanya, bagaimana nasib NKRI lima atau sepuluh tahun kedepan, jika harus dipimpin oleh figur yang menonjolkan simbol materalisme, seperti kecantikan tubuh luar (author beauty). Hanya kearifan budaya dan kesadaran politik nasional yang bisa menyelamatkan NKRI.
----------------

*)Penulis adalah Sekjen Lembaga Kajian Keagamaan dan Kebangsaan (LK3) PW GP Ansor Yogyakarta.

Read More......

Kamis, 26 Juni 2008

Dialog dalam Aliran Sesat

Gugun El-Guyanie
Suara Merdeka, 3 Nov 2007

JAGAD keberagamaan Islam di Indonesia kembali terguncang setelah munculnya aliran Al Qiyadah Al Islamiyah. “Sekte” agama Islam yang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendapat fatwa sesat itu didirikan oleh Ahmad Mushaddeq alias H Salam, di Kampung Gunung Sari, Desa Gunung Bunder, Bogor.

MUI mengeluarkan fatwa bahwa Al-Qiyadah Al-Islamiyah adalah sesat, karena bertentangan dengan ajaran Islam, yaitu mempercayai syahadat baru, mempercayai adanya nabi/ rasul baru sesudah Nabi Muhammad SAW, dan tidak mewajibkan pelaksanaan shalat, puasa, dan haji. Dalam konteks kasus penodaan ajaran agama, para ulama dalam MUI semata-mata menggunakan pendekatan hukum. Artinya, tidak dibuka jendela pendekatan lain, baik itu dialogis, bahasa kebudayaan, maupun pendekatan psikologis.

Semua itu dalam rangka menghindari kacamata sempit yang hanya diproduksi dari bahasa syariat atau hukum. Dalam bahasa hukum, hanya ada halal atau haram, salah atau benar, hitam atau putih. Tidak ada warna lain untuk menelusuri mengapa hitam, bagaimana latar historisnya bisa menjadi salah.

Fatwa keagamaan seharusnya juga lahir dari mata air kearifan yang tidak sekadar labelisasi sesat, kafir, murtad, haram, bidah, dan sebagainya. Tetapi fatwa harus menjadi ruang pencerahan dan dialog kemesraan yang memberikan solusi terhadap setiap problem, bukannya melahirkan keresahan baru yang berantai.

Kriminalisasi Tafsir
Secara politis terdapat fenomena kriminalisasi tafsir keagamaan dalam kasus semacam itu, sebagaimana pendapat Abdul Moqsith Ghozali (2006). Kriminalisasi tafsir keagamaan itu biasanya diarahkan kepada kelompok yang bukan arus utama dan tidak memiliki power (kekuasaan), seperti Al Qiyadah Al Islamiyah, Ahmadiyah, Komunitas Eden, dan Pondok I’tikaf Ngaji Lelaku Malang pimpinan Yusman Roy.

Sekiranya ajaran mereka menjadi arus utama, pastilah tidak akan dianggap sesat. Malah bisa sebaliknya, warga NU dan Muhammadiyah, misalnya, yang akan menjadi tertuduh sebagai penyebar ajaran sesat. Kita bisa belajar dari zaman Abassiyah, yang ketika itu doktrin Mu’tazilah menjadi mashab dan ideologi rezim penguasa; maka orang sunni-lah yang dianggap menyimpang, sehingga perlu diinterogasi dan diinkuisisi. Mungkin saja, tatkala ajaran Syi’ah telah menjadi arus utama di Iran, maka yang dinggap sesat adalah kelompok-kelompok Islam di seberangnya, seperti Sunni, Wahabi, dan lain-lain.

Dengan mempelajari track record MUI yang banyak memproduksi fatwa yang berbuntut pada konflik horizontal antaraliran di kalangan grass root, maka saatnya semua pihak membuka pintu reflektif, dialogis, dan humanis. Bukan berarti jawaban dalam bahasa syariat itu tidak penting. Justru metode menyelamatkan syariat dari aliran sesat tidak harus menggunakan bahasa syariat.

Ada bahasa politik, ada pula bahasa budaya, dan mungkin juga perlu bahasa natural. Siapa yang kita hadapi, dan bahasa apa yang harus kita pakai untuk berkomunikasi, dan dalam situasi dan kondisi bagaimana. Dengan demikian, tidak ada pihak yang terdiskreditkan secara politis, dan semuanya dalam posisi yang sederajat, yang agung, dan sama-sama menjemput rahmat Tuhan di seluruh zona alam semesta.

Belum Mahfum
Sayang umat beragama belum mafhum untuk membedakan agama dan institusi agama. Agama itu jalan suci yang sakral untuk mengabdi kepada Tuhan tanpa ada campur tangan manusia. Sementara itu institusi agama adalah kelompok agama yang di dalamnya ada intervensi secara provanitas dari organisasi semacam MUI, NU, Muhammadiyah, dan Hizbut Tahrir.

Organisasi keagamaan itu berperan sebagai penghimpun umat beragama untuk menyembah Tuhan sekaligus bersosial, sehingga tetap saja yang punya otoritas penuh dan hak prerogratif untuk memberi cap kafir, sesat, murtad hanya Tuhan Yang Maha Berkuasa.

Lantas apa tugas institusi agama jika otoritas secara otoritatif dan hak-hak prerogratif semua milik Tuhan? Semua umat manusia diberi mandat sebagai khalifatullah fil ardl sebagai mandataris Tuhan di muka bumi. Mandat itu dijalankan bukan untuk saling menyesatkan, kuasa-menguasai, kafir-mengafirkan, melainkan bersama-sama dan saling menghargai perbedaan, saling tolong, membimbing ke jalan yang benar menuju Tuhan, menebar kemesraan cinta dan fantasyiru fil ardl menebar jaring-jaring kehidupan di alam semesta. (IC)
------------------

*) Direktur Eksekutif Institute for Social Empowerment Yogyakarta (ISEY), Ketua Tanfidziyah Ponpes Mahasiswa Hasyim Asy’arie Yogyakarta

Read More......