Kamis, 26 Juni 2008

Dialog dalam Aliran Sesat

Gugun El-Guyanie
Suara Merdeka, 3 Nov 2007

JAGAD keberagamaan Islam di Indonesia kembali terguncang setelah munculnya aliran Al Qiyadah Al Islamiyah. “Sekte” agama Islam yang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendapat fatwa sesat itu didirikan oleh Ahmad Mushaddeq alias H Salam, di Kampung Gunung Sari, Desa Gunung Bunder, Bogor.

MUI mengeluarkan fatwa bahwa Al-Qiyadah Al-Islamiyah adalah sesat, karena bertentangan dengan ajaran Islam, yaitu mempercayai syahadat baru, mempercayai adanya nabi/ rasul baru sesudah Nabi Muhammad SAW, dan tidak mewajibkan pelaksanaan shalat, puasa, dan haji. Dalam konteks kasus penodaan ajaran agama, para ulama dalam MUI semata-mata menggunakan pendekatan hukum. Artinya, tidak dibuka jendela pendekatan lain, baik itu dialogis, bahasa kebudayaan, maupun pendekatan psikologis.

Semua itu dalam rangka menghindari kacamata sempit yang hanya diproduksi dari bahasa syariat atau hukum. Dalam bahasa hukum, hanya ada halal atau haram, salah atau benar, hitam atau putih. Tidak ada warna lain untuk menelusuri mengapa hitam, bagaimana latar historisnya bisa menjadi salah.

Fatwa keagamaan seharusnya juga lahir dari mata air kearifan yang tidak sekadar labelisasi sesat, kafir, murtad, haram, bidah, dan sebagainya. Tetapi fatwa harus menjadi ruang pencerahan dan dialog kemesraan yang memberikan solusi terhadap setiap problem, bukannya melahirkan keresahan baru yang berantai.

Kriminalisasi Tafsir
Secara politis terdapat fenomena kriminalisasi tafsir keagamaan dalam kasus semacam itu, sebagaimana pendapat Abdul Moqsith Ghozali (2006). Kriminalisasi tafsir keagamaan itu biasanya diarahkan kepada kelompok yang bukan arus utama dan tidak memiliki power (kekuasaan), seperti Al Qiyadah Al Islamiyah, Ahmadiyah, Komunitas Eden, dan Pondok I’tikaf Ngaji Lelaku Malang pimpinan Yusman Roy.

Sekiranya ajaran mereka menjadi arus utama, pastilah tidak akan dianggap sesat. Malah bisa sebaliknya, warga NU dan Muhammadiyah, misalnya, yang akan menjadi tertuduh sebagai penyebar ajaran sesat. Kita bisa belajar dari zaman Abassiyah, yang ketika itu doktrin Mu’tazilah menjadi mashab dan ideologi rezim penguasa; maka orang sunni-lah yang dianggap menyimpang, sehingga perlu diinterogasi dan diinkuisisi. Mungkin saja, tatkala ajaran Syi’ah telah menjadi arus utama di Iran, maka yang dinggap sesat adalah kelompok-kelompok Islam di seberangnya, seperti Sunni, Wahabi, dan lain-lain.

Dengan mempelajari track record MUI yang banyak memproduksi fatwa yang berbuntut pada konflik horizontal antaraliran di kalangan grass root, maka saatnya semua pihak membuka pintu reflektif, dialogis, dan humanis. Bukan berarti jawaban dalam bahasa syariat itu tidak penting. Justru metode menyelamatkan syariat dari aliran sesat tidak harus menggunakan bahasa syariat.

Ada bahasa politik, ada pula bahasa budaya, dan mungkin juga perlu bahasa natural. Siapa yang kita hadapi, dan bahasa apa yang harus kita pakai untuk berkomunikasi, dan dalam situasi dan kondisi bagaimana. Dengan demikian, tidak ada pihak yang terdiskreditkan secara politis, dan semuanya dalam posisi yang sederajat, yang agung, dan sama-sama menjemput rahmat Tuhan di seluruh zona alam semesta.

Belum Mahfum
Sayang umat beragama belum mafhum untuk membedakan agama dan institusi agama. Agama itu jalan suci yang sakral untuk mengabdi kepada Tuhan tanpa ada campur tangan manusia. Sementara itu institusi agama adalah kelompok agama yang di dalamnya ada intervensi secara provanitas dari organisasi semacam MUI, NU, Muhammadiyah, dan Hizbut Tahrir.

Organisasi keagamaan itu berperan sebagai penghimpun umat beragama untuk menyembah Tuhan sekaligus bersosial, sehingga tetap saja yang punya otoritas penuh dan hak prerogratif untuk memberi cap kafir, sesat, murtad hanya Tuhan Yang Maha Berkuasa.

Lantas apa tugas institusi agama jika otoritas secara otoritatif dan hak-hak prerogratif semua milik Tuhan? Semua umat manusia diberi mandat sebagai khalifatullah fil ardl sebagai mandataris Tuhan di muka bumi. Mandat itu dijalankan bukan untuk saling menyesatkan, kuasa-menguasai, kafir-mengafirkan, melainkan bersama-sama dan saling menghargai perbedaan, saling tolong, membimbing ke jalan yang benar menuju Tuhan, menebar kemesraan cinta dan fantasyiru fil ardl menebar jaring-jaring kehidupan di alam semesta. (IC)
------------------

*) Direktur Eksekutif Institute for Social Empowerment Yogyakarta (ISEY), Ketua Tanfidziyah Ponpes Mahasiswa Hasyim Asy’arie Yogyakarta

Read More......

Muslim Tradisionalis Sekaligus Modernis

Gugun El-Guyanie
Jawa Pos, 17 Febr 2008

"Kita mengenang karena sayang, kita bernostalgia karena cinta, dan kita meruwat karena hormat."

Memori sejarah dunia Islam harus kembali membuka file-file lama untuk menemukan tokoh besar dalam sejarah perjalanan Islam di Indonesia dan dunia. Buya HAMKA, nama itulah yang menjadi penanda penting bagi kehidupan umat Islam di Indonesia khususnya.

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), putra Minangkabau yang lahir pada 17 Februari 1908, dikenang karena kebesaran perjuangannya untuk menghidupkan Islam dan mencintai tanah air Indonesia. Tidak ada yang berlebih-lebihan ketika peringatan seabad Buya HAMKA kali ini, siapa pun harus memberikan apresiasi yang reflektif dalam rangka menghidupkan roh perjuangan beliau.

Sebagai ulama, mubalig, aktivis politik, dan pujangga besar, nama Buya HAMKA merangkum berbagai dimensi ilmu pengetahuan dan lintas sektor kehidupan. Buya HAMKA menempati peta penting dalam sejarah peradaban umat Islam Indonesia, bahkan dunia.

Dengan membaca peta HAMKA, umat muslim Indonesia sangat diharapkan mampu melanjutkan garis perjuangan dalam sejarah peradaban Islam jauh ke depan. Abad ke-21 yang ditunggangi ideologi global modernisme menjadi tantangan umat Islam untuk menjawab problematikanya.

Melalui kebangkitan spirit HAMKA, jawaban-jawaban itu terlahir sebagai bukti bahwa Islam itu memiliki power untuk melakukan perubahan. Islam di tangan HAMKA bukan doktrin mati yang membelenggu kemanusiaan, namun justru Islam menjadi teologi pembebasan (liberation theology) bagi mereka yang terpenjara, mengangkat derajat orang-orang kalah, dan mencerahkan umat yang terbelakang.

HAMKA adalah muslim tradisionalis sekaligus modernis. Dia seorang ulama yang istikamah dengan keislamannya, namun sekaligus menjadi seorang nasionalis yang berwibawa. Beliau adalah tokoh besar Muhammadiyah, namun juga sangat dekat dengan tradisi NU.

Pada zaman Soekarno, HAMKA adalah ulama pertama yang membacakan syair-syair Maulud Barjanzi di Istana Negara. Beliau menyanyikan bait-bait Barjanzi dan menerjemahkan dengan nuansa sastra sufistik yang tinggi. Barjanzi itu menjadi brand culture orang-orang NU, yang dianggap bid¢ah oleh lingkungan HAMKA yang Muhammadiyah.

Begitu juga kegemarannya pada dunia mistik-sufistik, yang juga menjadi karakter ulama tradisonalis NU. Dalam bukunya, Tasawuf Modern atau Tasawuf dari Abad ke Abad, tampak kelapangan hati antar aliran mistik.

Dalam buku itu, tak ada nada penghukuman, bahkan kepada pendekar union mystique Al Hallaj. Justru terdapat nukilan, misalnya, tentang Abu Yazid Al Busthami, seorang sufi, yang datang ke satu misa di gereja dan bapak pastor di sana kemudian mengumumkan hadirnya seseorang yang menurut perasaannya bukan orang sembarangan, dilihat dari aura jiwanya yang kuat.

Karakter keilmuan Islam klasiknya benar-benar sangat dekat dengan kultur Islam tradisionalis sebagaimana yang melekat pada ulama-ulama NU, terbukti dengan penguasaannya yang otoritatif terhadap kitab-kitab salaf. Kefakihan "dirosah Islamiyah" (Islamic studies) yang dimiliki HAMKA sampai saat ini jarang dimiliki kader-kader Muhammadiyah yang justru terjebak dalam puritanisme Islam yang radikal-konservatif.

Dalam konteks ini, saya tidak ingin berpikir dikotomis-frontalis antara NU-Muhammadiyah. Namun, ingin menunjukkan kepada umat Islam yang cenderung ekstrem-fanatis NU atau Muhammadiyah bahwa keduanya bisa terdapat dalam satu tubuh sekaligus, bersanding dengan damai demi membangun umat Islam yang harmonis dan humanis.

Baik orang NU atau orang Muhammadiyah harus sama-sama belajar kepada yang mulia Buya HAMKA. NU harus belajar serius bagaimana seorang yang memiliki tradisi kuat, namun juga mampu mentransformasikan ilmu modern dan Barat yang dianggap sekuler.

Demikian juga, Muhammadiyah harus belajar sungguh-sungguh kepada HAMKA untuk membuktikan bahwa Muhammadiyah adalah jam¢iyyah yang istikamah mengusung mainstream pembaruan (tajdid). Secara ontologis, HAMKA adalah senyawa yang tidak bisa dibingkai dan dirumuskan dalam satu segmentasi yang ketat.

Sebagaimana hipotesis Yudian Wahyudi PhD, guru besar filsafat hukum Islam, yang memberikan pernyataan bahwa pengalaman konflik tradisionalis versus modernis mengajarkan bahwa esensialisme gagal karena manusia adalah makhluk multiorientasi sehingga juga multidimensi, yang menolak setiap pemilahan ketat yang membagi manusia menjadi satu kategori atau label seperti tradisionalis, modernis, atau fundamentalis.

HAMKA dengan kemurnian akidahnya tidak menjadikan beliau terjebak dalam fanatisme buta (muthlaqun ta¢ashuby) sehingga mampu memberikan payung keteduhan bagi umat Nasrani, etnis Tionghoa, dan agama lain.

Surat kabar Berita Buana, yang menobatkan beliau sebagai Man of The Year untuk 1980, menilai HAMKA sangat berjasa dalam memperbesar jumlah pemeluk Islam dari kalangan warga Tionghoa, baik dari generasi muda, cendekiawan, maupun pengusaha. Bahkan, pada usianya yang lanjut, Buya HAMKA masih membuka pintu lebar bagi warga negara keturunan untuk belajar Islam.

Sebagai aktivis partai politik Masyumi, Buya HAMKA tentu memiliki tafsir politik yang positif daripada image politik yang oleh kebanyakan orang dibaca dengan negatif.

Sudah menjadi dalil umum bahwa politik adalah penyusunan dan penggunaan kekuasaan (machtsvorming en machtsaanwending). Namun, Buya HAMKA mengoperasikan politik yang maslahah dan rahmatan lil ¡alaamin. Ketika pemerintah mengampanyekan gerakan monoloyalitas, yang mengarahkan setiap pegawai negeri harus loyal kepada pemerintah dengan diwajibkan memilih Golkar dalam setiap pemilu, Buya HAMKA memberikan tanggapan yang diplomatis sekali.

Kata Buya HAMKA saat itu: Saya adalah seorang rakyat Indonesia yang pertama kali berlindung kepada Allah, di bawah kibaran bendera Merah Putih dan presidennya ialah Soeharto. Inilah yang bernama loyalitas."

Lanjut HAMKA, dengan pernyataan loyalitas itu bukanlah berarti bahwa saya mesti membantu kampanye Golkar. Jika saya tidak ikut kampanye buat menusuk tanda gambar salah satu partai Islam, bukanlah berarti saya keluar dari perjuangan Islam.
-----------------

*. Gugun El-Guyanie, Sekjen Lembaga Kajian Keagamaan dan Kebangsaan (LK3) PW GP Ansor Jogjakarta.

Read More......

Terorisme dan Perdamaian Global

Gugun El-Guyanie
Kompas, 11 Sep 2007

Dalam video yang dirilis sayap media Al Qaeda, Al Shahab, diperlihatkan Osama bin Laden sedang menyampaikan pesan kepada Pemerintah Amerika Serikat untuk memperingati serangan 11 September 2001 (Seputar Indonesia, 9/9). Tragedi enam tahun yang lalu itu telah meluluhlantakkan gedung kembar World Trade Center sebagai simbol keperkasaan ekonomi global dan Gedung Pentagon sebagai simbol kekuatan militer negara adidaya. Aksi spektakuler tersebut benar-benar mempermalukan Amerika Serikat.

Aksi teror itu terbukti menjadi inspirasi bagi aksi-aksi teror berikutnya yang melintas batas dunia, mulai dari tragedi bom Bali, Hotel JW Marriott Jakarta, Kedubes Australia di Jakarta, Casablanca, Madrid, hingga Riyadh, Arab Saudi. Sudah tak terhitung berapa ribu jiwa yang teraniaya, berapa ribu manusia yang hidupnya tertekan dalam kegalauan, berapa banyak kerugian materi yang terhambur sia-sia.

Apalagi saat ini Washington telah kewalahan dan dinilai gagal menangani dua perang besar yang dipimpinnya di Irak dan Afganistan. Kekerasan di Irak semakin memakan banyak korban. Adapun di Afganistan, tentara koalisi pimpinan AS tak juga berhasil menangkap Osama bin Laden, dan terus melakukan serangan membabi buta yang mengakibatkan tewasnya ratusan rakyat sipil.

Jadi kenyataan
Kita semua mungkin merasa dikejutkan oleh hasil laporan Departemen Pertahanan AS dan PBB, tahun 2003 yang menyatakan 80 persen dari daftar teroris adalah gerakan Islam. Artinya, tesis Samuel P Huntington bahwa akan terjadi clash of civilization, benturan peradaban antara Islam dan kapitalisme pascaruntuhnya komunisme, benar-benar menjadi kenyataan sejarah yang hadir di hadapan manusia.

Adalah Youssef M Choueri yang melihat tumbuhnya gerakan Islam radikal-fundamental yang mengarah pada anarkisme-terorisme sebagai reaksi langsung terhadap kegagalan implementasi konsep negara bangsa (nation-state) pada akhir abad 20. Juga pentas politik global yang telah menyekulerkan Islam, dalam arti menjadikan Islam hanya sebagai agama ritual.

Sejak beberapa dekade terakhir muncul gerakan-gerakan Islam yang ingin menciptakan tatanan dunia baru yang berdiri tegak atas hukum (syariat) Islam. Namun, gerakan Islam kebanyakan lahir sebagai reaksi sehingga kemunculannya bersifat spontan. Gerakan Islam yang tidak mempunyai suprastruktur akhirnya menyebabkan gerakan tersebut tidak mempunyai sumber daya manusia yang memiliki kesadaran sahih (al wa’y as shahih), selain mengandalkan ketokohan, kedudukan, dan kepentingan yang sama.

Dengan kesalahan sistemik tersebut, pada akhirnya membawa gerakan Islam mengalami disorientasi, bahkan sering dieksploitasi oleh kepentingan rezim dan negara imperialis Barat. Kita selayaknya belajar dari sekian perjalanan historis gerakan radikalis-fundamentalis di berbagai belahan dunia Islam.

Gerakan Wahabi di Hijaz sebelum keruntuhan khilafah, yang ditunggangi oleh kepentingan Inggris melalui Ibnu Sa’ud, kemudian Harakah Al-Khilafah tahun 1942 di India yang dapat dibelokkan sehingga menjadi gerakan nasionalisme. Begitu pula sejarah perjalanan Ikhwanul Muslimin di Mesir yang dipelopori oleh Al Imam As Syahid Hassan Al-Banna, yang pengaruhnya dimanfaatkan oleh agen Amerika, Gamal Abdul Nasser, untuk menggulingkan Raja Farouk pada era Revolusi Juli 1952. Setelah itu mereka diberangus oleh "kawan" seperjuangan.

Anatomi terorisme
Data yang dikemukakan oleh Departemen Pertahanan AS dan PBB tersebut di atas seolah-olah ingin melekatkan stereotip terorisme pada dunia Islam. Berbagai pertemuan regional dan internasional yang membedah anatomi terorisme juga tak melepaskan perbincangannya dari jagat aktivisme Islam. Mulai dari pertemuan ASEAN Ministerial Meeting, Kongres Asia-Afrika, KTT Non-Blok sampai KTT Dunia, semuanya tak melupakan agenda kejahatan transnasional yang sudah melipat batas dunia.

Sungguh kehidupan kemanusiaan di dunia semakin menghadapi ancaman yang multidimensional, mulai dari kemiskinan global, kesehatan, sampai terorisme yang tak berurat akar sampai detik ini. Dalam konteks keindonesiaan khususnya, tak terbayangkan akan berhadapan pada kondisi yang serupa.

Simak saja pernyataan yang pernah dilontarkan oleh Fazlur Rahman, guru besar Nurcholis Madjid dari Chicago University, yang mengatakan bahwa masa depan perkembangan Islam di dunia terletak di Indonesia. Alasan Fazlur Rahman yang pertama adalah eksistensi Islam di Indonesia tidak menunjukkan ekstremisme, yang kemudian diperkuat dengan tidak adanya kegiatan-kegiatan Islam yang mengarah pada anarkisme. Kedua, di Indonesia tidak dijumpai pertentangan pendapat dalam akidah atau politik yang mencuat menjadi konflik fisik atau kekerasan bersenjata. Hal itu kemudian dikaitkan dengan proses Islamisasi pada masa silam yang dilakukan tanpa penaklukan.

Namun, itu hanya ungkapan masa lampau sebelum tragedi bom beruntun menghujani negeri yang mayoritas berpenduduk Muslim ini. Mendadak prediksi Fazlur Rahman menjadi dongeng bumi pertiwi yang keji dan anarki.

Mewujudkan perdamaian global juga artinya bagi umat Islam adalah menepis labelisasi terorisme kepada Islam dengan menampilkan Islam yang humanis, toleran, inklusif, dan cinta damai. Sejarah kegemilangan umat Islam era awal, yaitu zaman Rasulullah dan sahabatnya, patut kita tarik kembali untuk mengisi era globalisasi yang telah menegasikan batas-batas geografis.

Masyarakat madani yang diteladankan Rasulullah di Madinah telah menunjukkan bukti bahwa watak Islam yang fitrah adalah mengakui perbedaan dalam bentuk apa pun. Kehidupan yang harmonis, cinta damai, ditunjukkan dengan beragamnya berbagai suku, agama, dan ras yang hidup berdampingan tanpa menonjolkan perbedaan.

Dalam konteks zaman tersebut, sungguh sebuah prestasi yang amat modern, kata Robert N Bellah, sehingga tak mampu bertahan karena tidak didukung oleh infrastruktur sosial yang memadai dan sikap masyarakat yang masih tradisional konservatif.

Islam yang rahmatan lil ’alamin adalah milik umat manusia sedunia, yaitu mewujudkan keselamatan, memberi rahmat kepada semesta, dengan terbuka terhadap perubahan. Dengan kesimpulan semacam ini, artinya problem terorisme bukanlah semata persoalan Islam, tetapi persoalan global yang perlu dicarikan solusi bersama dengan mengadakan kerja sama antarkawasan dan antariman untuk terbuka dan meneguhkan komitmen bersama memberantas terorisme.

Yang tak kalah penting adalah langkah yang strategis dan profesional dari berbagai organisasi regional, seperti ASEAN, ASEM, ARF, dan APEC, dalam mencegah, mengontrol kejahatan transnasional melalui pertukaran informasi, penegakan hukum, pengembangan kapasitas lembaga, serta pelatihan dan kerja sama antarkawasan. Maka usaha gigih masyarakat dunia akan membuahkan perdamaian global yang kekal dan abadi.
---------------

*) Direktur Eksekutif Institute for Social Empowerment Yogyakarta (ISEY)

Read More......

Kematian Gandhi dan Masa Depan Perdamaian

Gugun El-Guyanie

MOHANDAS Karamchand Gandhi (Mahatma, yang berati "Jiwa Yang Agung", sebagai julukan kehormatan), seorang bocah terlahir di tengah peradaban India yang masih tercengkeram kolonialisme dan imperialisme Barat.

Latar belakang sejarah yang penuh pergolakan, pertumpahan darah dan penjajahan hak-hak sesama manusia, menjadikan Gandhi dewasa menolak bertekuk lutut menyerah pada penjajah yang zalim. Namun, semenjak meninggalnya pada 30 Januari 1948, tubuhnya yang dihantam bom rakitan pengikutnya dari Hindu fundamentalis, dunia seakan sulit melahirkan tokoh yang sebanding dengan Gandhi.

Ahimsa, sebuah prinsip perlawanan Gandhi dalam memperjuangkan hak-hak kemanusiaan dengan tetap antikekerasan, pada konteks kekinian patut kita refleksikan kembali. Abad modern yang bergelimang dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadikan misi hidup mulia Gandhi semakin terasing.

Setengah abad setelah si tubuh ringkih itu meninggalkan dunia mayapada ini, perdamaian menjadi komoditas yang terlalu mahal dan tabu untuk dibicarakan.

Perjuangan Gandhi untuk memperjuangkan kehidupan yang damai dengan kerelaan mengorbankan kenikmatan duniawinya, rupa-rupanya tak banyak yang menghargainya, apalagi meneruskan panji perjuangannya.

Penilaian Negatif
Orang bisa memaklumi ketika yang bersikap skeptis itu adalah kaum awam yang tak memikirkan filosofi kehidupan apa pun. Tetapi sangat ironis, kalau tokoh sejenius Profesor Worm Muller (penasihat Komite Nobel Norwegia), memberikan penilaian negatif terhadap perjuangan Gandhi.

Momentum tersebut terjadi ketika Gandhi dinominasikan sebagai penerima Nobel Perdamaian pertama kali pada tahun 1937. Dalam pandangan Muller, Gandhi memang seorang pemimpin yang penuh karismatik, tetapi kapasitasnya selaku maestro politik, kebijakannya sering tidak konsisten. Begitu pula jalan pemikirannya yang sulit dipahami oleh para pengikutnya.

Gandhi dianggap berwajah ganda. Sebagai pejuang kebebasan tetapi sekaligus juga seorang pemimpin yang diktator. Kampanye antikekerasan melawan Inggris dapat menyebabkan kekerasan dan teror. Begitu pula dengan kasus di Chauri Chaura, yaitu selama kampanye non-kooperatif I periode 1920-1921, sekumpulan orang menyerang kantor polisi dan membakarnya serta terjadi pembunuhan terhadap para anggota polisi.

Dengan sebelah mata, laporan dari Penasihat Komite Nobel itu juga menganggap bahwa ide Gandhi yang banyak mengundang simpati hanya terbatas untuk bangsa India semata. Salah satu contohnya adalah perjuangan perdamaian Gandhi di Afrika juga muara keuntungannya untuk India.

Skenario semacam itulah yang menggagalkan Gandhi untuk memperoleh nobel pada tahun 1937, bahkan sampai akhir hayatnya, tak satu pun penghargaan tersebut jatuh untuknya.

Memang, perjuangan yang penuh keikhlasan jauh dari tendensi pragmatisme sempit-seperti kemasyhuran, kedudukan apalagi kekayaan duniawi-tak akan pernah dipandang indah oleh siapa pun. Dalam filosofi Jawa, "sepi ing pamrih rame ing gawe". Sepi berarti kosong, kekosongan dari pamrih yang berarti kepentingan, keuntungan atau pujian. Rame yang bermakna penuh karya, seluruhnya berisi gawe yang berarti sepak terjang perjuangan yang penuh rintangan, pengorbanan baik jiwa dan raga.

Ada beberapa kemungkinan mengapa cita-cita mulia beliau sengaja disembunyikan dari sesuatu yang objektif. Pertama, sepintas mereka yang memandang satu mata terhadap spirit perdamaian yang diusung Gandhi, tak memahami esensi kehidupan itu sendiri. Sehingga hidup yang penuh kedamaian, keharmonisan dan keindahan tak berarti apa-apa.

Atau barangkali yang kedua, mereka telanjur skeptis bahwa perjuangan mewujudkan perdamaian adalah sesuatu yang utopis belaka. Sebagaimana adagium yang mengakar pada masyarakat Romawi Kuno, "sivis pacem para bellum, jika Anda ingin damai bersiaplah untuk perang". Artinya tak ada kehidupan damai yang sejati. Perdamaian itu sendiri ditegakkan dengan mengorbankan nyawa manusia, pertumpahan darah dan menuruti nafsu kebengisan.

Waktu damai hanyalah masa tenggang yang diapit oleh kekerasan sebelumnya yang akan disambung oleh pergolakan berikutnya. Setiap waktu, setiap tahun adalah tahun yang mengerikan (Anno Horrobilis).

Ketiga, apresiasi yang sempit dari orang-orang Barat sebagaimana terbukti dalam Komite Nobel Norwegia, menunjukkan terjadinya perang kepentingan. Faktor politiklah yang muncul secara dominan. Primordialisme Barat atau Eropa sentris, seakan keberatan ketika harus menjatuhkan pilihan kepada tokoh Timur yang notabene masih hidup dalam belenggu kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan. Terlebih Inggris pada waktu itu masih mencengkeram kuat India sebagai daerah koloninya.

Kesadaran
Sampai detik ini, warga dunia masih belum juga terbuka kesadaran damainya (peace consciousness). Sebuah kesadaran yang fitrah, sebagaimana Tuhan menciptakan manusia dalam keadaan telanjang, kosong dari pergolakan apapun. Manusia berasal dari ketiadaan, kembali menuju ketiadaan.

Kearifan lokal itulah (local wisdom) yang diajarkan oleh RNg Ronggowarsito-seorang pujangga Yosodipuro II (1802-0873)-dalam sastra jawa, Sangkan Paraning Dumadi, asal muasal kejadian.

Beberapa teladan hidup Gandhi patut untuk dilahirkan kembali untuk menghadapi kehidupan yang semakin tua. Konsep perlawanan tanpa kekerasan, yang disebut ahimsa, keteguhan dalam kebenaran (satyagraha), dan swadeshi sebuah sikap konsistensi untuk berdiri diatas kemampuan sendiri.

Menjauhi kenikmatan duniawi (zuhud), telah membutakan mata Gandhi terhadap kekuasaan, kekayaan dan kemasyhuran. Gandhi tak segan-segan menolak jabatan politik yang diberikan kongres kepada dirinya. Menghabiskan hidup dengan tinggal di ashram yang jauh dari kemegahan, baginya jauh lebih mulia daripada hidup di istana. Menerima jabatan diibaratkannya sebagai memakai "mahkota berduri".

Gandhi memang telah meninggalkan dunia yang fana ini. Tetapi bukan berarti perjuangannya, teladan hidupnya, dan ajaran-ajarannya ikut terkubur oleh kerasnya tanah zaman globalisasi. Globalisasi yang mengajarkan gaya hidup materialis, hedonis dan pragmatis, membuat manusia teralienasi dari ke-fitrah-annya sendiri.

Mengalami kekeringan spiritual dan sepenuhnya dibimbing nafsu kebinatangan yang rakus tamak dan serakah. Menghormati jasa Gandhi terhadap semesta bukan dengan sikap mengkultuskannya. Tetapi mampukah kita semua melahirkan spirit Gandhi di zaman yang cerdas tapi beringas ini? *
------------------

*)Penulis adalah Koordinator Kajian Editorial LKKY (Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta)
1 Feb 2006, diambil dari Suara Pembaruan

Read More......

Keserakahan Dunia Industri

Gugun El-Guyanie
Suara Merdeka, 7 Des 2007

BERAPA banyak warga dunia yang punya perhatian bahwa 2 Desember lalu adalah hari yang memiliki nilai historis penting? Momentum tersebut biasa diperingati sebagai Hari Internasional Untuk Penghapusan Perbudakan.

Pada tahun 1949 resolusi Majelis Umum PBB No 317 (IV) mengadopsi Konvensi PBB untuk Memberantas Perdagangan Manusia dan Eksploitasi untuk Melacurkan Orang Lain (UN Convention for the Suppression of The Trafficking in Persons and the Exploitation of The Prostitution of Other). Konvensi ini mengutuk perdagangan manusia (trafficking)

Mengapa sampai abad 21 yang kehidupan masyarakat dunia sudah sedemikian canggih masih ada eksploitasi atau perbudakan? Bukankah keunggulan teknologi informasi dan komunikasi sudah menjadi masterpiece abad modernisasi dan globalisasi. Namun justru keunggulan teknologi yang diciptakan manusia, menjadi alat untuk memperbudak dan menindas manusia lain yang lemah dan tak berdaya baik secara kebudayaan, intelektual maupun politik dan ekonomi.

Di balik ketidakadilan antara manusia satu dengan yang lain untuk saling menyingkirkan, saling membinasakan dan saling mengungguli ada satu kepentingan yang menjadi arus utama, yaitu industri. Industri hanya memiliki satu motif, yaitu keuntungan dan akumulasi modal sebesar-besarnya dan untuk tidak memberikan peluang sedikit pun kepada yang lemah. Di situlah letak kunci perbudakan, yaitu kepentingan industri yang rakus dan "Machiavellian", menghalalkan segala cara asal kaya dan menang.

Pemaksaan
Perbudakan menurut Kevin Bales, dalam bukunya Disposable People: New Slavery in the Global Economy (1999), dideskripsikan sebagai pemaksaan seseorang dengan menggunakan kekerasan dan penahanan hak mereka untuk tujuan eksploitasi. Menurut Bales, perbudakan yang saat ini dianggap telah terhapus dan hanya menjadi bagian dari kisah masa lalu, nyatanya masih terjadi di mana kemiskinan, keadaan sosial, ataupun keyakinan agama yang dapat diekspoitasi.

Bales memperkirakan sekitar 27 juta budak masih dipekerjakan di seluruh dunia saat ini. Senada dengan Bales, International Organization for Migration (IOM) menyatakan, hingga saat ini masih ada jutaan orang, terutama perempuan dan anak-anak, mengalami nasib tragis karena diperlakukan sebagai budak. IOM kemudian meminta bangsa-bangsa di dunia untuk menyosialisasikan dan mencegah terjadinya segala bentuk perdagangan manusia (Rosmi Julitasari: 2007).

Perjalanan sejarah perdaban dunia, waktu demi waktu ternyata belum mampu melepaskan tradisi perbudakan yang dipotret dari sudut pandang manapun melawan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Sejarah imperialisme dan kolonialisme Barat, sejarah kerajaan kuno, sejarah perang dunia, sampai sejarah revolusi industri pun semuanya menyimpan tumbal yang bernama perbudakan. Justru atas nama kemajuan globalisasi dan modernisasi, harus ada yang dikorbankan menjadi budak.

Ternyata dunia kita yang seakan-akan memiliki prestasi kemajuan secara material, telah merampas hak-hak kemanusiaan yang dikaruniakan Tuhan kepada seluruh umat manusia tanpa ada perbedaan. Kesimpulannya, semakin maju tingkat ilmu pengetahuan manusia, semakin canggih modus operandi untuk menindas dan memperbudak sesamanya yang lemah. Mereka yang pintar memperbudak yang bodoh, mereka yang kaya memperbudak yang miskin, mereka yang berkuasa memperbudak rakyatnya, dan semuanya berlindung di balik industri.

Kecanggihan metodologi perbudakan yang semakin modern atau bentuk-bentuk perbudakan kontemporer harusnya disadari oleh masyarakat dunia sebagai problem yang serius. Sejarah imperialisme dan kolonialisme Barat, sejarah kerajaan kuno, sejarah perang dunia, sampai sejarah revolusi industri pun semuanya menyimpan tumbal yang bernama perbudakan.

PBB melalui Office of The High Commissioner of Human Rights mengeluarkan Fact Sheet No.14 dengan judul Contemporary Forms of Slavery. Perilaku yang termasuk dalam kategori ini adalah: perdagangan anak,

prostitusi anak, pornografi anak, eksploitasi pekerja anak, mutilasi seksual terhadap anak perempuan, pelibatan anak dalam konflik bersenjata, perhambaan, perdagangan manusia, perdagangan organ tubuh manusia, eksploitasi untuk pelacuran,dan, sejumlah kegiatan di bawah rezim apartheid dan penjajahan.

Dalam Trafficking in Persons Report (Juli 2001) yang diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan Economy Social Commision on Asia Pacific, Indonesia menempati tiga atau terendah atau terburuk, yaitu negara yang memiliki korban dalam jumlah yang besar, namun pemerintahnya tidak atau belum melakukan usaha-usaha yang berarti dalam memenuhi standar pencegahan dan penanggulangan perdagangan manusia (R Valentina Sagala: 2003).

Keadilan
Pemerintah yang dimaksud tentu adalah selaku pembuat kebijakan yang secara ideal harus menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sederajat, adil dan demokratis. Namun secara faktual, pemerintah justru antiterhadap persamaan hak dan kewajiban yang dianggap akan mengguncang status quo.

Pemerintahan mana pun di luar Indonesia pun secara wajar menghindari perubahan yang meniscayakan persamaan hak dan kewajiban selaku warga Negara maupun selaku manusia sebagai makhluk Tuhan.

Bahkan bukan hanya pemerintah yang berkuasa secara politik, namun juga ada penguasa ekonomi yang menguasai konglomerasi bisnis yang demikian menindas hak-hak ekonomi sesama. Juga ada doktrin-doktrin agama yang menjadi penjara yang memperbudak umatnya dari kebebasan selaku makhluk Tuhan yang merdeka.

Dengan demikian komitmen untuk menghapus perbudakan tidak serta merta berhenti pada tataran yang bersifat parsial-kasuistik. Artinya kita semua tidak hanya sekadar

menyelesaikan kasus trafficking, buruh pabrik, prostitusi anak semata. Namun secara mendasar harus digali secara filosofis kebudayaan, mengapa mewujudkan persamaan hak dan kewajiban itu sulit diwujudkan dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Kata kunci dari penghapusan perbudakan adalah keadilan. Baik itu keadilan ekonomi, keadilan politik, keadilan bertuhan dan sebagainya. Juga keadilan antara hak dan kewajiban agar tercipta keseimbangan dan keharmonisan antarwarga masyarakat.

Dalam konteks filosofis, perbudakan itu hilang ketika terjadi harmoni dan humanisasi antara pemerintah dengan rakyat, antara raja dengan kawula, antara buruh dengan majikan dan antara umat dengan ulama.

Kedua unsur tersebut sama-sama memahami posisi masing-masing dan saling memanusiakan. Tidak ada yang berposisi sebagai subjek dan objek. Keduanya adalah subjek yang saling berdialektika untuk mewujudkan keharmonisan dan keselarasan hidup bersama.
----------------

*) Direktur Eksekutif Institute for Social Empowerment Yogyakarta (ISEY).

Read More......