Rabu, 13 Agustus 2008

PANGGUNG POLITIK KAUM MUDA

Gugun El-Guyanie

Muda atau tua bukan sekedar siklus biologis, namun memiliki makna politis yang strategis. Kaum muda dan kaum tua sama-sama memiliki kepentingan untuk tampil di medan politik untuk berkuasa dan memimpin. Kaum tua lebih matang, namun penuh pertimbangan yang membutuhkan waktu panjang untuk berdialektika. Kaum muda lebih progresif, namun memilih jalan pintas yang serba instant. Panggung politik Indonesia saat ini harus memberikan skala dan target yang jelas. Berapa persen kebijakan-kebijakan harus diambil cepat dan progresif, dengan karakter pemimpin muda. Berapa persen pula kebijakan butuh pertimbangan, jangka panjang, khas karakter orang tua.

Nurcholis Madjid secara definitive menggambarkan bahwa usia 30 tahun membuat orang sudah berpikir mapan, tidak progressif, dan cenderung mempertahankan status quo. Orang muda yang anti status quo dibutuhkan untuk memimpin bangsa yang sedang dalam kondisi emergence baik secara politik keamanan atau social-ekonomi. Orang-orang tua dibutuhkan sebagai pemimpin yang bisa men-stabilkan pergolakan-pergolakan, di tengah masyarakat yang memiliki kecenderungan rebellius society. Menurut Taufik Abdullah, sejarah tidak akan menenggelamkan kaum muda yang kehadirannya bukan semata-mata gejala demografis, tapi juga fakta sosiologis dan historis. Ia memandang kelahiran kaum muda tidak hanya mengisi sebuah episode generasi baru, mengganti generasi tua, tapi lebih dari itu kaum muda merupakan subyek potensial yang menjanjikan. Kaum muda adalah lokomotif perubahan (agent of change) yang menyimpan energi untuk menjebol tembok-tembok feodalisme, kolonialisme dan imper ialisme.

Kaum muda dalam konteks ini adalah sekelompok orang berusia muda, yang terdidik, dan memiliki kesadaran kebangsaan. Memiliki visi panjang, bercita-cita mengusung perubahan, dan menaruh sense of belonging terhadap nasib bangsanya. Mereka adalah kelas menengah (middle class), bukan sekedar menengah dalam kategori social-ekonomi semata. Mereka bukanlah kelompok kelas bawah (lower class) yang sedikit memiliki visi dan sensibilitas social yang luas, karena sudah disibukkan untuk memikirkan kebutuhan hidup mereka sendiri yang tidak terjamin oleh siapa-siapa. Kelas bawah ini energinya habis untuk berjuang melawan ketidakadilan social ekonomi. Mereka ini adalah pengangguran, buruh, petani pedesaan dan kaum pinggiran lain. Kelas menengah juga berbeda dengan kelas atas (upper class) yang status quo, yang terlanjur mencintai kekuasaan, duduk di singgasana kemewahan hidup dan penuh selebrasi popularitas. Kelas atas yang anti perubahan, menolak sunnatullah yang meniscayakan roda perubahan. Mereka takut dengan falsafah Jawa yang mengajarkan “cakra manggilingan”—kehidupan berputar seperti roda pedati, kadang diatas kadang dibawah.

Pertarungan kelas dan sejarah manusia dalam pandangan Karl Marx dibentuk oleh motif ekonomi semata. Sementara bagi sosiolog Jerman, Max Weber, membuktikan bahwa sebab-akibat dalam sejarah tak selamanya didasarkan atas motif-motif ekonomi belaka. Weber berhasil menunjukkan bahwa ide-ide religius dan etis justru memiliki pengaruh yang sangat besar. Dengan demikian kelas menengah dalam konteks kaum muda adalah mereka yang memiliki modal intelektual (intellectual capital),modal kultural (cultural capital) dan symbolic capital. Menurut Pierre Bordieau (Homo Academicus: 1988), kaum muda sebagai kelas menengah ini memiliki habitus tersendiri yang berbeda dengan dunia politik yang kotor atau jagad ekonomi yang rakus.

Bagi Yuddy Chrisnandi (2007), ada hal fundamental yang membedakan kaum muda dari kaum tua. Kaum muda selalu melawan, sementara kaum tua senantiasa berkompromi. Peristiwa Rengasdengklok saat Soekarno-Hatta diculik kaum muda dan mendesakkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah satu bukti sejarah yang sulit dibantah betapa kaum muda tidak tunduk pada "kompromi". Kaum muda memaksa Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan atas nama bangsa Indonesia. Jepang, yang sudah dilumpuhkan oleh tentara Sekutu dalam Perang Dunia II setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom atom pada 6 dan 9 Agustus 1945, membuat pemuda tidak percaya pada janji kemerdekaan pemerintah kolonial Jepang.

Belajar dari Peristiwa Rengasdengklok, kaum muda sangat dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang cepat dan tepat. Tanpa desakan kaum muda, bisa jadi kemerdekaan Indonesia tidak diproklamasikan 17 Agustus 1945, karena kaum tua butuh pertimbangan panjang. Kemerdekaan adalah proses revolutif yang membutuhkan waktu cepat dalam multiskala yang luas dan menyeluruh. Dengan kemerdekaan semua kehidupan bangsa berubah total dari jeratan kolonialisme menjadi bebas dan berdaulat menentukan nasibnya sendiri. Revolusi yang berjalan cepat selalu membutuhkan pengorbanan. Dalam bahasanya Khalifah Ali bin Abi Thalib, revolusi akan terus bergulir sampai mereka yang berada dalam status paling rendah diantara kamu menjadi paling tinggi dan sebaliknya. Inilah karakter orang muda yang rela berkorban demi perubahan yang total, bukan setengah-setengah.

Kaum muda calon pemimpin masa depan harus terorganisir gagasan dan gerakannya. Partai politik sebagai salah satu institusi yang memiliki otoritas melakukan kaderisasi politik jangan hanya menjadikan kader muda sebagai komoditas politik. Selama ini partai politik justru melakukan “banalisme kaum muda”, mencetak kaum muda sebagai kader politik yang mengusung ideology pragmatisme dan oportunisme. Wajar kalau banyak kaum muda potensial ketika masuk partai politik tiba-tiba kehilangan idealisme dan orientasi kebangsaan (nationalisme oriented). Mesin politik untuk mengkader generasi muda harus benar-benar bersih. Partai politiklah yang punya peran untuk membangun karakter kebangsaan anak muda (nation character building). Jika mesin politik partai sudah bergulir dengan lancar dan bersih, maka tidak boleh ada sikap skeptis dan apriori anak-anak muda terhadap partai politik. Kaum muda, yang tidak memilih politik sebagai kehidupannya adalah kaum muda yang individualis. Mementingkan kepentinganya sendiri, tanpa menyadari bahwa kehidupannya ditentukan oleh keputusan-keputusan politik. William Gilbert (1836-1911), menyatakan “saya selalu memilih berdasarkan partai, dan tidak pernah berpikir tentang kepentingan pribadi saya sendiri.”

“Saatnya kaum muda memimpin” bukan sekedar sloganistik. Namun membutuhkan proses kaderisasi yang panjang. Kaum muda sebagaimana kaum tua adalah bagian dari rakyat. Jika suatu saat mereka memimpin, yang utama diingat adalah nasib rakyat. Sebagaimana adagium Romawi; “princepes et senatores discite exemplum populorum. Et agite pro republica popularum.” Para pemimpin dan wakil rakyat belajarlah dari teladan rakyat, dan bekerjalah demi kepentingan rakyat. Kendati demikian, kaum muda yang sedang dipuja-puja dan ditunggu-tunggu kedatangannya bak imam mahdi, ratu adil atau sang mesias, jangan lupa diri bahkan ambisius untuk merebut tahta. Mungkinkah kaum muda sanggup menjadi sang mesias bagi tanah airnya? Jangan lupa karakter bangsa kita yang “melodramatic”, dalam bahasanya Sukardi Rinakit. Bangsa yang “melodramatic”, mudah bosan, mudah lupa, mudah cinta juga mudah benci.

Penulis adalah Sekjen Lembaga Kajian Keagamaan dan Kebangsaan (LK3) PW GP Ansor Yogyakarta.

Tidak ada komentar: