Kamis, 23 Oktober 2008

REINTERPRETASI FUNGSI POLITIK MUHAMMADIYAH

Gugun El-Guyanie
Kedaulatan Rakyat,16/11/2007

KETIKA organisasi sosial keagamaan Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 November 1912 oleh KH Ahmad Dahlan, kondisi sosial politik tanah air masih dalam hegemoni kolonialisme Barat yang melakukan intervensi baik dalam ranah politik, ekonomi, agama dan budaya, KH Ahmad Dahlan -- yang bernama kecil Muhammad Darwis, membawa spirit pembaruan setelah kepulangannya dari tanah suci Makkah al Mukarromah, dengan menghimpun para pedagang di Yogyakarta yang harus menghadapi intervensi dan hegemoni politik ekonomi penjajah dan pebisnis Timur Asing. Dalam artian, sang pendiri juga mencanangkan cita-cita politik dan ekonomi untuk menghadapi kolonialis dan imperialis Barat yang begitu represif, selain juga yang paling popular dari pembaruan Muhammadiyah adalah memberangus takhayul, bid'ah dan churafat (TBC) dalam ranah pemurnian akidah. Hingga menjelang usianya yang seabad, Muhammadiyah belum sepenuhnya sadar bahwa peran politik itu ternyata penting, karena secara tersirat telah dilakukan oleh pendirinya.

Tergantung bagaimana tafsir mengenai peran politik dalam konteks keterlibatan memimpin, memanage dan mengurus rakyat yang bermuara pada keadilan ekonomi dan kesederajatan politik. Muhammadiyah tidak bisa serta merta berapologi bahwa prinsip yang dipegang hanya sebatas pemurnian agama yang memberangus TBC. Muhammadiyah harus terlibat dengan memanasnya iklim politik nasional yang semakin chaos.

Peta politik nasional menjelang Pemilu 2009 begitu rumit dan berbelit. Masing-masing ormas keagamaan semacam NU, Muhammadiyah, militer atau sipil, dan juga politik bisnis ikut menyumbat pintu komunikasi yang dialogis. Terpecahnya Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Matahari Bangsa (PMB), walaupun tidak diakui memiliki hubungan struktural, tetapi jelas memiliki nasab secara emosional dan kultural bagi warga Muhammadiyah. Mau tidak mau Muhammadiyah harus memberikan pencerahan dalam ranah politik nasional, tanpa harus terjebak dalam pragmatisme politik praktis. Terminologi politik yang diangkat pun hendaknya bermuara pada tema pencerahan yang diadopsi dari arti kata "tanwir" yang berarti pencerahan atau penyinaran.

Sebagaimana thesisnya Alfian (1989: 5) yang menemukan tiga wajah Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharu Islam di Indonesia, yakni sebagai a religious reformist, agent of social changes dan a political forces. Wajah yang ketiga itulah yang seolah dinafikan oleh publik bahkan oleh warga Muhammadiyah sendiri. Artinya mereka menolak jika Muhammadiyah benar-benar memiliki peran sebagai kekuatan politik (political forces) yang mampu menciptakan perubahan politik dalam skala nasional.

Haedar Nashir dalam "Dinamika Politik Muhammadiyah" (2000: 7), mengajukan terobosan pemikiran yang elegan. Muhammadiyah harus menggali teologi politik -- yaitu mencari norma-norma dasar keagamaan yang menjadi sandaran politik Muhammadiyah, manakala organisasi Islam reformis ini ingin konsisten (istiqomah) mempertahankan diri sebagai gerakan sosial keagamaan dan tidak ingin menjadi partai politik dengan mencari ruang untuk memainkan fungsi politik dalam dinamika kebangsaan.

Kendatipun begitu organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini pun tidak bisa begitu saja membiarkan potensi dan fungsi politiknya terbengkelai. Muhammadiyah tidak perlu khawatir ketika PAN dan pecahannya Partai Matahari Bangsa (PMB) bersaing. Atau para sesepuh Muhammadiyah tidak perlu kebakaran jenggot jika kader-kader muda Muhammadiyah yang berada di kampus tersedot ke partai PKS atau partai lainnya. Justru di sinilah kearifan politik yang tidak menyimpan ambisi mengejar singgasana kekuasaan. Kader-kader muda "matahari bersinar" ini biarlah berkiprah di berbagai partai politik sebagai representasi warga Muhammadiyah.

Dengan ujung tombak politik semacam ini, justru Muhammadiyah tidak akan pernah terancam konflik kepentingan (conflict of interest), atau geger rebutan posisi di partai. Intelektual muda, dokter, akademisi, pengusaha atau profesional muda Muhammadiyah boleh dipinang partai yang sama sekali tidak memiliki kesamaan ideologi dengan Muhammadiyah. Dengan catatan, mereka berpolitik dengan maksud berkhidmah kepada Muhammadiyah dan umat Islam Indonesia.

Sekali lagi harus diingat bahwa KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah bukan untuk sekelompok elite politik, juga bukan untuk orang kaya atau berpendidikan saja. Muara politik Muhammadiyah adalah mengentaskan orang miskin menjadi sejahtera, mencerdaskan anak bangsa dan melayani segala urusan warganya termasuk kesehatan dengan tidak berorientasi pada profit oriented.

Kesimpulan Nakamura, seorang profesor antropologi dari Chiba University yang menjadi tesis dengan judul "The Crescent Arises over the Banyan Tree: A Study the Muhammadiyah Movement in A Central Javanese Town", berdasarkan risetnya di Kotagede Yogyakarta, menggambarkan Muhammadiyah yang multiwajah. Baik itu wajah ideologi, politik, sosial-budaya dan sebagainya. Apakah menjelang usianya satu abad wajahnya masih multi indah? Atau sudah mulai berwajah politis, berwajah kapitalis dan sebagainya. Menjelang seabad Muhammadiyah, semoga Indonesia semakin cerah
----------------

*)Ketua Tanfidziyah Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy'arie, dan Direktur Eksekutif Institute for Social Empowerment Yogyakarta (ISEY)

1 komentar:

Bernando J Sujibto mengatakan...

tulisan yang penting di baca..
hahaaha

salut bung