Kamis, 26 Juni 2008

Dialog dalam Aliran Sesat

Gugun El-Guyanie
Suara Merdeka, 3 Nov 2007

JAGAD keberagamaan Islam di Indonesia kembali terguncang setelah munculnya aliran Al Qiyadah Al Islamiyah. “Sekte” agama Islam yang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendapat fatwa sesat itu didirikan oleh Ahmad Mushaddeq alias H Salam, di Kampung Gunung Sari, Desa Gunung Bunder, Bogor.

MUI mengeluarkan fatwa bahwa Al-Qiyadah Al-Islamiyah adalah sesat, karena bertentangan dengan ajaran Islam, yaitu mempercayai syahadat baru, mempercayai adanya nabi/ rasul baru sesudah Nabi Muhammad SAW, dan tidak mewajibkan pelaksanaan shalat, puasa, dan haji. Dalam konteks kasus penodaan ajaran agama, para ulama dalam MUI semata-mata menggunakan pendekatan hukum. Artinya, tidak dibuka jendela pendekatan lain, baik itu dialogis, bahasa kebudayaan, maupun pendekatan psikologis.

Semua itu dalam rangka menghindari kacamata sempit yang hanya diproduksi dari bahasa syariat atau hukum. Dalam bahasa hukum, hanya ada halal atau haram, salah atau benar, hitam atau putih. Tidak ada warna lain untuk menelusuri mengapa hitam, bagaimana latar historisnya bisa menjadi salah.

Fatwa keagamaan seharusnya juga lahir dari mata air kearifan yang tidak sekadar labelisasi sesat, kafir, murtad, haram, bidah, dan sebagainya. Tetapi fatwa harus menjadi ruang pencerahan dan dialog kemesraan yang memberikan solusi terhadap setiap problem, bukannya melahirkan keresahan baru yang berantai.

Kriminalisasi Tafsir
Secara politis terdapat fenomena kriminalisasi tafsir keagamaan dalam kasus semacam itu, sebagaimana pendapat Abdul Moqsith Ghozali (2006). Kriminalisasi tafsir keagamaan itu biasanya diarahkan kepada kelompok yang bukan arus utama dan tidak memiliki power (kekuasaan), seperti Al Qiyadah Al Islamiyah, Ahmadiyah, Komunitas Eden, dan Pondok I’tikaf Ngaji Lelaku Malang pimpinan Yusman Roy.

Sekiranya ajaran mereka menjadi arus utama, pastilah tidak akan dianggap sesat. Malah bisa sebaliknya, warga NU dan Muhammadiyah, misalnya, yang akan menjadi tertuduh sebagai penyebar ajaran sesat. Kita bisa belajar dari zaman Abassiyah, yang ketika itu doktrin Mu’tazilah menjadi mashab dan ideologi rezim penguasa; maka orang sunni-lah yang dianggap menyimpang, sehingga perlu diinterogasi dan diinkuisisi. Mungkin saja, tatkala ajaran Syi’ah telah menjadi arus utama di Iran, maka yang dinggap sesat adalah kelompok-kelompok Islam di seberangnya, seperti Sunni, Wahabi, dan lain-lain.

Dengan mempelajari track record MUI yang banyak memproduksi fatwa yang berbuntut pada konflik horizontal antaraliran di kalangan grass root, maka saatnya semua pihak membuka pintu reflektif, dialogis, dan humanis. Bukan berarti jawaban dalam bahasa syariat itu tidak penting. Justru metode menyelamatkan syariat dari aliran sesat tidak harus menggunakan bahasa syariat.

Ada bahasa politik, ada pula bahasa budaya, dan mungkin juga perlu bahasa natural. Siapa yang kita hadapi, dan bahasa apa yang harus kita pakai untuk berkomunikasi, dan dalam situasi dan kondisi bagaimana. Dengan demikian, tidak ada pihak yang terdiskreditkan secara politis, dan semuanya dalam posisi yang sederajat, yang agung, dan sama-sama menjemput rahmat Tuhan di seluruh zona alam semesta.

Belum Mahfum
Sayang umat beragama belum mafhum untuk membedakan agama dan institusi agama. Agama itu jalan suci yang sakral untuk mengabdi kepada Tuhan tanpa ada campur tangan manusia. Sementara itu institusi agama adalah kelompok agama yang di dalamnya ada intervensi secara provanitas dari organisasi semacam MUI, NU, Muhammadiyah, dan Hizbut Tahrir.

Organisasi keagamaan itu berperan sebagai penghimpun umat beragama untuk menyembah Tuhan sekaligus bersosial, sehingga tetap saja yang punya otoritas penuh dan hak prerogratif untuk memberi cap kafir, sesat, murtad hanya Tuhan Yang Maha Berkuasa.

Lantas apa tugas institusi agama jika otoritas secara otoritatif dan hak-hak prerogratif semua milik Tuhan? Semua umat manusia diberi mandat sebagai khalifatullah fil ardl sebagai mandataris Tuhan di muka bumi. Mandat itu dijalankan bukan untuk saling menyesatkan, kuasa-menguasai, kafir-mengafirkan, melainkan bersama-sama dan saling menghargai perbedaan, saling tolong, membimbing ke jalan yang benar menuju Tuhan, menebar kemesraan cinta dan fantasyiru fil ardl menebar jaring-jaring kehidupan di alam semesta. (IC)
------------------

*) Direktur Eksekutif Institute for Social Empowerment Yogyakarta (ISEY), Ketua Tanfidziyah Ponpes Mahasiswa Hasyim Asy’arie Yogyakarta

Tidak ada komentar: