Kamis, 26 Juni 2008

Kematian Gandhi dan Masa Depan Perdamaian

Gugun El-Guyanie

MOHANDAS Karamchand Gandhi (Mahatma, yang berati "Jiwa Yang Agung", sebagai julukan kehormatan), seorang bocah terlahir di tengah peradaban India yang masih tercengkeram kolonialisme dan imperialisme Barat.

Latar belakang sejarah yang penuh pergolakan, pertumpahan darah dan penjajahan hak-hak sesama manusia, menjadikan Gandhi dewasa menolak bertekuk lutut menyerah pada penjajah yang zalim. Namun, semenjak meninggalnya pada 30 Januari 1948, tubuhnya yang dihantam bom rakitan pengikutnya dari Hindu fundamentalis, dunia seakan sulit melahirkan tokoh yang sebanding dengan Gandhi.

Ahimsa, sebuah prinsip perlawanan Gandhi dalam memperjuangkan hak-hak kemanusiaan dengan tetap antikekerasan, pada konteks kekinian patut kita refleksikan kembali. Abad modern yang bergelimang dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadikan misi hidup mulia Gandhi semakin terasing.

Setengah abad setelah si tubuh ringkih itu meninggalkan dunia mayapada ini, perdamaian menjadi komoditas yang terlalu mahal dan tabu untuk dibicarakan.

Perjuangan Gandhi untuk memperjuangkan kehidupan yang damai dengan kerelaan mengorbankan kenikmatan duniawinya, rupa-rupanya tak banyak yang menghargainya, apalagi meneruskan panji perjuangannya.

Penilaian Negatif
Orang bisa memaklumi ketika yang bersikap skeptis itu adalah kaum awam yang tak memikirkan filosofi kehidupan apa pun. Tetapi sangat ironis, kalau tokoh sejenius Profesor Worm Muller (penasihat Komite Nobel Norwegia), memberikan penilaian negatif terhadap perjuangan Gandhi.

Momentum tersebut terjadi ketika Gandhi dinominasikan sebagai penerima Nobel Perdamaian pertama kali pada tahun 1937. Dalam pandangan Muller, Gandhi memang seorang pemimpin yang penuh karismatik, tetapi kapasitasnya selaku maestro politik, kebijakannya sering tidak konsisten. Begitu pula jalan pemikirannya yang sulit dipahami oleh para pengikutnya.

Gandhi dianggap berwajah ganda. Sebagai pejuang kebebasan tetapi sekaligus juga seorang pemimpin yang diktator. Kampanye antikekerasan melawan Inggris dapat menyebabkan kekerasan dan teror. Begitu pula dengan kasus di Chauri Chaura, yaitu selama kampanye non-kooperatif I periode 1920-1921, sekumpulan orang menyerang kantor polisi dan membakarnya serta terjadi pembunuhan terhadap para anggota polisi.

Dengan sebelah mata, laporan dari Penasihat Komite Nobel itu juga menganggap bahwa ide Gandhi yang banyak mengundang simpati hanya terbatas untuk bangsa India semata. Salah satu contohnya adalah perjuangan perdamaian Gandhi di Afrika juga muara keuntungannya untuk India.

Skenario semacam itulah yang menggagalkan Gandhi untuk memperoleh nobel pada tahun 1937, bahkan sampai akhir hayatnya, tak satu pun penghargaan tersebut jatuh untuknya.

Memang, perjuangan yang penuh keikhlasan jauh dari tendensi pragmatisme sempit-seperti kemasyhuran, kedudukan apalagi kekayaan duniawi-tak akan pernah dipandang indah oleh siapa pun. Dalam filosofi Jawa, "sepi ing pamrih rame ing gawe". Sepi berarti kosong, kekosongan dari pamrih yang berarti kepentingan, keuntungan atau pujian. Rame yang bermakna penuh karya, seluruhnya berisi gawe yang berarti sepak terjang perjuangan yang penuh rintangan, pengorbanan baik jiwa dan raga.

Ada beberapa kemungkinan mengapa cita-cita mulia beliau sengaja disembunyikan dari sesuatu yang objektif. Pertama, sepintas mereka yang memandang satu mata terhadap spirit perdamaian yang diusung Gandhi, tak memahami esensi kehidupan itu sendiri. Sehingga hidup yang penuh kedamaian, keharmonisan dan keindahan tak berarti apa-apa.

Atau barangkali yang kedua, mereka telanjur skeptis bahwa perjuangan mewujudkan perdamaian adalah sesuatu yang utopis belaka. Sebagaimana adagium yang mengakar pada masyarakat Romawi Kuno, "sivis pacem para bellum, jika Anda ingin damai bersiaplah untuk perang". Artinya tak ada kehidupan damai yang sejati. Perdamaian itu sendiri ditegakkan dengan mengorbankan nyawa manusia, pertumpahan darah dan menuruti nafsu kebengisan.

Waktu damai hanyalah masa tenggang yang diapit oleh kekerasan sebelumnya yang akan disambung oleh pergolakan berikutnya. Setiap waktu, setiap tahun adalah tahun yang mengerikan (Anno Horrobilis).

Ketiga, apresiasi yang sempit dari orang-orang Barat sebagaimana terbukti dalam Komite Nobel Norwegia, menunjukkan terjadinya perang kepentingan. Faktor politiklah yang muncul secara dominan. Primordialisme Barat atau Eropa sentris, seakan keberatan ketika harus menjatuhkan pilihan kepada tokoh Timur yang notabene masih hidup dalam belenggu kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan. Terlebih Inggris pada waktu itu masih mencengkeram kuat India sebagai daerah koloninya.

Kesadaran
Sampai detik ini, warga dunia masih belum juga terbuka kesadaran damainya (peace consciousness). Sebuah kesadaran yang fitrah, sebagaimana Tuhan menciptakan manusia dalam keadaan telanjang, kosong dari pergolakan apapun. Manusia berasal dari ketiadaan, kembali menuju ketiadaan.

Kearifan lokal itulah (local wisdom) yang diajarkan oleh RNg Ronggowarsito-seorang pujangga Yosodipuro II (1802-0873)-dalam sastra jawa, Sangkan Paraning Dumadi, asal muasal kejadian.

Beberapa teladan hidup Gandhi patut untuk dilahirkan kembali untuk menghadapi kehidupan yang semakin tua. Konsep perlawanan tanpa kekerasan, yang disebut ahimsa, keteguhan dalam kebenaran (satyagraha), dan swadeshi sebuah sikap konsistensi untuk berdiri diatas kemampuan sendiri.

Menjauhi kenikmatan duniawi (zuhud), telah membutakan mata Gandhi terhadap kekuasaan, kekayaan dan kemasyhuran. Gandhi tak segan-segan menolak jabatan politik yang diberikan kongres kepada dirinya. Menghabiskan hidup dengan tinggal di ashram yang jauh dari kemegahan, baginya jauh lebih mulia daripada hidup di istana. Menerima jabatan diibaratkannya sebagai memakai "mahkota berduri".

Gandhi memang telah meninggalkan dunia yang fana ini. Tetapi bukan berarti perjuangannya, teladan hidupnya, dan ajaran-ajarannya ikut terkubur oleh kerasnya tanah zaman globalisasi. Globalisasi yang mengajarkan gaya hidup materialis, hedonis dan pragmatis, membuat manusia teralienasi dari ke-fitrah-annya sendiri.

Mengalami kekeringan spiritual dan sepenuhnya dibimbing nafsu kebinatangan yang rakus tamak dan serakah. Menghormati jasa Gandhi terhadap semesta bukan dengan sikap mengkultuskannya. Tetapi mampukah kita semua melahirkan spirit Gandhi di zaman yang cerdas tapi beringas ini? *
------------------

*)Penulis adalah Koordinator Kajian Editorial LKKY (Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta)
1 Feb 2006, diambil dari Suara Pembaruan

Tidak ada komentar: