Kamis, 26 Juni 2008

Keserakahan Dunia Industri

Gugun El-Guyanie
Suara Merdeka, 7 Des 2007

BERAPA banyak warga dunia yang punya perhatian bahwa 2 Desember lalu adalah hari yang memiliki nilai historis penting? Momentum tersebut biasa diperingati sebagai Hari Internasional Untuk Penghapusan Perbudakan.

Pada tahun 1949 resolusi Majelis Umum PBB No 317 (IV) mengadopsi Konvensi PBB untuk Memberantas Perdagangan Manusia dan Eksploitasi untuk Melacurkan Orang Lain (UN Convention for the Suppression of The Trafficking in Persons and the Exploitation of The Prostitution of Other). Konvensi ini mengutuk perdagangan manusia (trafficking)

Mengapa sampai abad 21 yang kehidupan masyarakat dunia sudah sedemikian canggih masih ada eksploitasi atau perbudakan? Bukankah keunggulan teknologi informasi dan komunikasi sudah menjadi masterpiece abad modernisasi dan globalisasi. Namun justru keunggulan teknologi yang diciptakan manusia, menjadi alat untuk memperbudak dan menindas manusia lain yang lemah dan tak berdaya baik secara kebudayaan, intelektual maupun politik dan ekonomi.

Di balik ketidakadilan antara manusia satu dengan yang lain untuk saling menyingkirkan, saling membinasakan dan saling mengungguli ada satu kepentingan yang menjadi arus utama, yaitu industri. Industri hanya memiliki satu motif, yaitu keuntungan dan akumulasi modal sebesar-besarnya dan untuk tidak memberikan peluang sedikit pun kepada yang lemah. Di situlah letak kunci perbudakan, yaitu kepentingan industri yang rakus dan "Machiavellian", menghalalkan segala cara asal kaya dan menang.

Pemaksaan
Perbudakan menurut Kevin Bales, dalam bukunya Disposable People: New Slavery in the Global Economy (1999), dideskripsikan sebagai pemaksaan seseorang dengan menggunakan kekerasan dan penahanan hak mereka untuk tujuan eksploitasi. Menurut Bales, perbudakan yang saat ini dianggap telah terhapus dan hanya menjadi bagian dari kisah masa lalu, nyatanya masih terjadi di mana kemiskinan, keadaan sosial, ataupun keyakinan agama yang dapat diekspoitasi.

Bales memperkirakan sekitar 27 juta budak masih dipekerjakan di seluruh dunia saat ini. Senada dengan Bales, International Organization for Migration (IOM) menyatakan, hingga saat ini masih ada jutaan orang, terutama perempuan dan anak-anak, mengalami nasib tragis karena diperlakukan sebagai budak. IOM kemudian meminta bangsa-bangsa di dunia untuk menyosialisasikan dan mencegah terjadinya segala bentuk perdagangan manusia (Rosmi Julitasari: 2007).

Perjalanan sejarah perdaban dunia, waktu demi waktu ternyata belum mampu melepaskan tradisi perbudakan yang dipotret dari sudut pandang manapun melawan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Sejarah imperialisme dan kolonialisme Barat, sejarah kerajaan kuno, sejarah perang dunia, sampai sejarah revolusi industri pun semuanya menyimpan tumbal yang bernama perbudakan. Justru atas nama kemajuan globalisasi dan modernisasi, harus ada yang dikorbankan menjadi budak.

Ternyata dunia kita yang seakan-akan memiliki prestasi kemajuan secara material, telah merampas hak-hak kemanusiaan yang dikaruniakan Tuhan kepada seluruh umat manusia tanpa ada perbedaan. Kesimpulannya, semakin maju tingkat ilmu pengetahuan manusia, semakin canggih modus operandi untuk menindas dan memperbudak sesamanya yang lemah. Mereka yang pintar memperbudak yang bodoh, mereka yang kaya memperbudak yang miskin, mereka yang berkuasa memperbudak rakyatnya, dan semuanya berlindung di balik industri.

Kecanggihan metodologi perbudakan yang semakin modern atau bentuk-bentuk perbudakan kontemporer harusnya disadari oleh masyarakat dunia sebagai problem yang serius. Sejarah imperialisme dan kolonialisme Barat, sejarah kerajaan kuno, sejarah perang dunia, sampai sejarah revolusi industri pun semuanya menyimpan tumbal yang bernama perbudakan.

PBB melalui Office of The High Commissioner of Human Rights mengeluarkan Fact Sheet No.14 dengan judul Contemporary Forms of Slavery. Perilaku yang termasuk dalam kategori ini adalah: perdagangan anak,

prostitusi anak, pornografi anak, eksploitasi pekerja anak, mutilasi seksual terhadap anak perempuan, pelibatan anak dalam konflik bersenjata, perhambaan, perdagangan manusia, perdagangan organ tubuh manusia, eksploitasi untuk pelacuran,dan, sejumlah kegiatan di bawah rezim apartheid dan penjajahan.

Dalam Trafficking in Persons Report (Juli 2001) yang diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan Economy Social Commision on Asia Pacific, Indonesia menempati tiga atau terendah atau terburuk, yaitu negara yang memiliki korban dalam jumlah yang besar, namun pemerintahnya tidak atau belum melakukan usaha-usaha yang berarti dalam memenuhi standar pencegahan dan penanggulangan perdagangan manusia (R Valentina Sagala: 2003).

Keadilan
Pemerintah yang dimaksud tentu adalah selaku pembuat kebijakan yang secara ideal harus menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sederajat, adil dan demokratis. Namun secara faktual, pemerintah justru antiterhadap persamaan hak dan kewajiban yang dianggap akan mengguncang status quo.

Pemerintahan mana pun di luar Indonesia pun secara wajar menghindari perubahan yang meniscayakan persamaan hak dan kewajiban selaku warga Negara maupun selaku manusia sebagai makhluk Tuhan.

Bahkan bukan hanya pemerintah yang berkuasa secara politik, namun juga ada penguasa ekonomi yang menguasai konglomerasi bisnis yang demikian menindas hak-hak ekonomi sesama. Juga ada doktrin-doktrin agama yang menjadi penjara yang memperbudak umatnya dari kebebasan selaku makhluk Tuhan yang merdeka.

Dengan demikian komitmen untuk menghapus perbudakan tidak serta merta berhenti pada tataran yang bersifat parsial-kasuistik. Artinya kita semua tidak hanya sekadar

menyelesaikan kasus trafficking, buruh pabrik, prostitusi anak semata. Namun secara mendasar harus digali secara filosofis kebudayaan, mengapa mewujudkan persamaan hak dan kewajiban itu sulit diwujudkan dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Kata kunci dari penghapusan perbudakan adalah keadilan. Baik itu keadilan ekonomi, keadilan politik, keadilan bertuhan dan sebagainya. Juga keadilan antara hak dan kewajiban agar tercipta keseimbangan dan keharmonisan antarwarga masyarakat.

Dalam konteks filosofis, perbudakan itu hilang ketika terjadi harmoni dan humanisasi antara pemerintah dengan rakyat, antara raja dengan kawula, antara buruh dengan majikan dan antara umat dengan ulama.

Kedua unsur tersebut sama-sama memahami posisi masing-masing dan saling memanusiakan. Tidak ada yang berposisi sebagai subjek dan objek. Keduanya adalah subjek yang saling berdialektika untuk mewujudkan keharmonisan dan keselarasan hidup bersama.
----------------

*) Direktur Eksekutif Institute for Social Empowerment Yogyakarta (ISEY).

Tidak ada komentar: