Kamis, 26 Juni 2008

Terorisme dan Perdamaian Global

Gugun El-Guyanie
Kompas, 11 Sep 2007

Dalam video yang dirilis sayap media Al Qaeda, Al Shahab, diperlihatkan Osama bin Laden sedang menyampaikan pesan kepada Pemerintah Amerika Serikat untuk memperingati serangan 11 September 2001 (Seputar Indonesia, 9/9). Tragedi enam tahun yang lalu itu telah meluluhlantakkan gedung kembar World Trade Center sebagai simbol keperkasaan ekonomi global dan Gedung Pentagon sebagai simbol kekuatan militer negara adidaya. Aksi spektakuler tersebut benar-benar mempermalukan Amerika Serikat.

Aksi teror itu terbukti menjadi inspirasi bagi aksi-aksi teror berikutnya yang melintas batas dunia, mulai dari tragedi bom Bali, Hotel JW Marriott Jakarta, Kedubes Australia di Jakarta, Casablanca, Madrid, hingga Riyadh, Arab Saudi. Sudah tak terhitung berapa ribu jiwa yang teraniaya, berapa ribu manusia yang hidupnya tertekan dalam kegalauan, berapa banyak kerugian materi yang terhambur sia-sia.

Apalagi saat ini Washington telah kewalahan dan dinilai gagal menangani dua perang besar yang dipimpinnya di Irak dan Afganistan. Kekerasan di Irak semakin memakan banyak korban. Adapun di Afganistan, tentara koalisi pimpinan AS tak juga berhasil menangkap Osama bin Laden, dan terus melakukan serangan membabi buta yang mengakibatkan tewasnya ratusan rakyat sipil.

Jadi kenyataan
Kita semua mungkin merasa dikejutkan oleh hasil laporan Departemen Pertahanan AS dan PBB, tahun 2003 yang menyatakan 80 persen dari daftar teroris adalah gerakan Islam. Artinya, tesis Samuel P Huntington bahwa akan terjadi clash of civilization, benturan peradaban antara Islam dan kapitalisme pascaruntuhnya komunisme, benar-benar menjadi kenyataan sejarah yang hadir di hadapan manusia.

Adalah Youssef M Choueri yang melihat tumbuhnya gerakan Islam radikal-fundamental yang mengarah pada anarkisme-terorisme sebagai reaksi langsung terhadap kegagalan implementasi konsep negara bangsa (nation-state) pada akhir abad 20. Juga pentas politik global yang telah menyekulerkan Islam, dalam arti menjadikan Islam hanya sebagai agama ritual.

Sejak beberapa dekade terakhir muncul gerakan-gerakan Islam yang ingin menciptakan tatanan dunia baru yang berdiri tegak atas hukum (syariat) Islam. Namun, gerakan Islam kebanyakan lahir sebagai reaksi sehingga kemunculannya bersifat spontan. Gerakan Islam yang tidak mempunyai suprastruktur akhirnya menyebabkan gerakan tersebut tidak mempunyai sumber daya manusia yang memiliki kesadaran sahih (al wa’y as shahih), selain mengandalkan ketokohan, kedudukan, dan kepentingan yang sama.

Dengan kesalahan sistemik tersebut, pada akhirnya membawa gerakan Islam mengalami disorientasi, bahkan sering dieksploitasi oleh kepentingan rezim dan negara imperialis Barat. Kita selayaknya belajar dari sekian perjalanan historis gerakan radikalis-fundamentalis di berbagai belahan dunia Islam.

Gerakan Wahabi di Hijaz sebelum keruntuhan khilafah, yang ditunggangi oleh kepentingan Inggris melalui Ibnu Sa’ud, kemudian Harakah Al-Khilafah tahun 1942 di India yang dapat dibelokkan sehingga menjadi gerakan nasionalisme. Begitu pula sejarah perjalanan Ikhwanul Muslimin di Mesir yang dipelopori oleh Al Imam As Syahid Hassan Al-Banna, yang pengaruhnya dimanfaatkan oleh agen Amerika, Gamal Abdul Nasser, untuk menggulingkan Raja Farouk pada era Revolusi Juli 1952. Setelah itu mereka diberangus oleh "kawan" seperjuangan.

Anatomi terorisme
Data yang dikemukakan oleh Departemen Pertahanan AS dan PBB tersebut di atas seolah-olah ingin melekatkan stereotip terorisme pada dunia Islam. Berbagai pertemuan regional dan internasional yang membedah anatomi terorisme juga tak melepaskan perbincangannya dari jagat aktivisme Islam. Mulai dari pertemuan ASEAN Ministerial Meeting, Kongres Asia-Afrika, KTT Non-Blok sampai KTT Dunia, semuanya tak melupakan agenda kejahatan transnasional yang sudah melipat batas dunia.

Sungguh kehidupan kemanusiaan di dunia semakin menghadapi ancaman yang multidimensional, mulai dari kemiskinan global, kesehatan, sampai terorisme yang tak berurat akar sampai detik ini. Dalam konteks keindonesiaan khususnya, tak terbayangkan akan berhadapan pada kondisi yang serupa.

Simak saja pernyataan yang pernah dilontarkan oleh Fazlur Rahman, guru besar Nurcholis Madjid dari Chicago University, yang mengatakan bahwa masa depan perkembangan Islam di dunia terletak di Indonesia. Alasan Fazlur Rahman yang pertama adalah eksistensi Islam di Indonesia tidak menunjukkan ekstremisme, yang kemudian diperkuat dengan tidak adanya kegiatan-kegiatan Islam yang mengarah pada anarkisme. Kedua, di Indonesia tidak dijumpai pertentangan pendapat dalam akidah atau politik yang mencuat menjadi konflik fisik atau kekerasan bersenjata. Hal itu kemudian dikaitkan dengan proses Islamisasi pada masa silam yang dilakukan tanpa penaklukan.

Namun, itu hanya ungkapan masa lampau sebelum tragedi bom beruntun menghujani negeri yang mayoritas berpenduduk Muslim ini. Mendadak prediksi Fazlur Rahman menjadi dongeng bumi pertiwi yang keji dan anarki.

Mewujudkan perdamaian global juga artinya bagi umat Islam adalah menepis labelisasi terorisme kepada Islam dengan menampilkan Islam yang humanis, toleran, inklusif, dan cinta damai. Sejarah kegemilangan umat Islam era awal, yaitu zaman Rasulullah dan sahabatnya, patut kita tarik kembali untuk mengisi era globalisasi yang telah menegasikan batas-batas geografis.

Masyarakat madani yang diteladankan Rasulullah di Madinah telah menunjukkan bukti bahwa watak Islam yang fitrah adalah mengakui perbedaan dalam bentuk apa pun. Kehidupan yang harmonis, cinta damai, ditunjukkan dengan beragamnya berbagai suku, agama, dan ras yang hidup berdampingan tanpa menonjolkan perbedaan.

Dalam konteks zaman tersebut, sungguh sebuah prestasi yang amat modern, kata Robert N Bellah, sehingga tak mampu bertahan karena tidak didukung oleh infrastruktur sosial yang memadai dan sikap masyarakat yang masih tradisional konservatif.

Islam yang rahmatan lil ’alamin adalah milik umat manusia sedunia, yaitu mewujudkan keselamatan, memberi rahmat kepada semesta, dengan terbuka terhadap perubahan. Dengan kesimpulan semacam ini, artinya problem terorisme bukanlah semata persoalan Islam, tetapi persoalan global yang perlu dicarikan solusi bersama dengan mengadakan kerja sama antarkawasan dan antariman untuk terbuka dan meneguhkan komitmen bersama memberantas terorisme.

Yang tak kalah penting adalah langkah yang strategis dan profesional dari berbagai organisasi regional, seperti ASEAN, ASEM, ARF, dan APEC, dalam mencegah, mengontrol kejahatan transnasional melalui pertukaran informasi, penegakan hukum, pengembangan kapasitas lembaga, serta pelatihan dan kerja sama antarkawasan. Maka usaha gigih masyarakat dunia akan membuahkan perdamaian global yang kekal dan abadi.
---------------

*) Direktur Eksekutif Institute for Social Empowerment Yogyakarta (ISEY)

Tidak ada komentar: